Rangkaian Pilkada Depok untuk memilih Walikota dan Wakil Walikota telah memasuki babak baru dengan mulai berlangsungnya masa tenang sejak tanggal 6 Desember 2020 hingga pencoblosan pada tanggal 9 Desember 2020. Hanya tinggal menghitung hari sampai warga kota satelit Jakarta ini menentukan siapa pemimpin pilihannya.
Pilkada tahun ini diwarnai dengan pecah kongsi pasangan periode lalu ketika Mohammad Idris, sang Walikota, memutuskan untuk menggandeng Imam Budi Hartono melawan Pradi Supriatna, sang Wakil, yang menggandeng Afifah Alia. Terlepas dari hasil akhirnya, dapat dipastikan bahwa orang lama akan kembali menjabat di Balaikota setidaknya hingga Pilkada selanjutnya.
Pilkada Depok tetap menarik untuk diikuti, sebab kendati wilayahnya cukup kecil untuk ukuran sebuah kota, posisinya sebagai daerah penyangga Ibukota negara yang dihuni jutaan manusia memberikan banyak keuntungan bagi parpol penguasa, paling tidak secara elektoral.
Menariknya Pilkada Depok juga menyebabkan sengkarut yang ada di dalamnya menjadi lebih menonjol di mata publik. Ambil contoh kasus pelecehan verbal yang dialami oleh Afifah yang dilontarkan oleh Imam pada saat keduanya melakukan medical checkup di Bandung untuk keperluan pendaftaran di Pilkada, suatu masalah yang cukup serius sekaligus juga remeh untuk level Pilkada.
Dikatakan serius, sebab permasalahan gender memang merupakan isu penting belakangan di era emansipasi dan kesetaraan. Akan tetapi dikatakan remeh juga, sebab tidak semestinya di level calon kepala daerah masih ada masalah semacam ini yang dilakukan oleh seorang kandidat kepada kandidat lain.
Ada juga kisruh mengenai spanduk kampanye Idris-Imam yang mencatut logo KPU dan Pemkot Depok dan dipasang di beberapa titik strategis hingga kemudian menuai polemik dan berujung pada pengguntingan logo serta revisi desain spanduk. Tidak ketinggalan, isu SARA dan rendahnya toleransi di Kota Depok kembali menyeruak dalam sesi debat paslon yang kemudian secara berbarengan disangkal oleh Idris dan Pradi selaku petahana.
Boleh dibilang, pandemi sepertinya bukan merupakan alasan untuk menjadikan Pilkada Depok tahun ini tidak meriah dengan sengkarut permasalahan dan kontroversi, sesuatu yang sangat digemari oleh media dan para simpatisan.
Terlepas dari kisruhnya, Pilkada yang menampilkan perpecahan kongsi selalu menarik bagi penulis selaku konstituen dan pengamat dari luar. Mengapa? Sebab dalam kontestasi semacam ini seluruh pihak yang terlibat memiliki posisi yang sejajar dan seimbang dalam beradu gagasan serta pengaruh. Tidak ada istilah “orang dalam” dan “orang luar” yang mendikotomi setiap paslon, sehingga tendensi sok pintar dan sok tahu dapat dikesampingkan dan diganti dengan kompetisi yang lebih berkualitas.
Setidaknya….. itu yang penulis harapkan di masa-masa awal pencalonan dan kampanye, terutama dengan kehadiran Afifah selaku kandidat perempuan pertama di kota se-patriarki Depok.
Tapi apa daya? Pilkada Depok sekali lagi tak ubahnya pentas tebar janji perubahan dan program berbentuk gratifikasi instan bagi konstituen. Para kandidat terlalu sibuk mengobral program kerja (atau program bagi-bagi bantuan) sehingga kualitas Pilkada kali ini tak beda jauh dengan acara giveaway di akun media sosial para influencer yang kerap bagi-bagi ponsel dan uang gratis serta lebih buruk dibanding pemilihan ketua OSIS SMA.
Padahal disadari atau tidak, petahana yang terlalu sibuk obral janji perubahan dan peningkatan porsi anggaran untuk kepentingan masyarakat secara tidak langsung mengakui bahwa mereka sudah gagal di periode sebelumnya dalam menciptakan Depok yang ideal dalam gagasan mereka.
Mengapa perlu menunggu selesai periode pertama untuk menjanjikan perubahan kondisi? Mengapa baru sekarang para kandidat petahana berjanji membagi bantuan dan peningkatan anggaran kemasyarakatan, sementara periode lalu keduanya memiliki kemampuan untuk melakukan itu jika betul-betul diniatkan?
Selain menjadi bahan bercandaan warga luar kota karena “Lagu Lampu Merah”, “Manusia Perak”, begal, dan zona merah COVID-19, sebagai warga Depok rasanya sulit untuk menemukan suatu kebanggaan yang dapat ditonjolkan sekaligus sebagai pelipur lara dan malu.
Hingga berakhirnya kepemimpinan Idris-Pradi, Depok masih tanpa visi pembangunan yang jelas. Mall dan apartemen menjamur di mana pun ada lahan dan potensi pemasukan ekstra untuk Pemda. Tata ruang dapat disesuaikan seperlunya sehingga Anda kadang dapat dibuat kaget dengan ketimpangan pembangunan dari tempat-tempat yang bersebelahan.
Semboyan “Depok Ramah Anak dan Perempuan” terpampang di berbagai sudut kota lewat spanduk berisi jargon dan ajakan kosong, sementara anak-anak penjual tisu dan pemain pianika serta pengemis perempuan yang menggendong bayi sembari memelas masih dapat Anda temukan di pertigaan lampu merah sepanjang Margonda dan dekat balaikota.
Jalan terus dilebarkan mengimbangi laju pertumbuhan jumlah kendaraan dan manusia, sementara sistem transportasi nyaris dipangkutangankan kepada Organda dan angkot-angkotnya serta pemerintah dari luar kota lewat armada Transjakarta dan Commuter Line.
PR Depok terlampau banyak dan semua menuntut untuk diperhatikan. Kendati tidak seseksi program kerja semacam bagi-bagi bansos dan pembangunan alun-alun, urgensinya jelas tetap besar. Sayangnya bahkan hingga memasuki masa tenang yang tetap diisi oleh pelanggaran PKPU mengenai keberadaan alat peraga dan kegiatan kampanye di media sosial, diskursus mengenai isu-isu kunci ini tidak mampu digemakan sekuat berita Afifah dilecehkan oleh Imam atau Idris positif COVID-19.
Mau buktinya? Mari lihat janji kampanye para calon di bawah ini:
Idris-Imam menyodorkan setidaknya sepuluh janji kampanye sebagai berikut:
- Dana Rp. 5 miliar per kelurahan (total ada 60 lebih kelurahan di Depok atau dibutuhkan minimal Rp. 300 miliar anggaran untuk program ini saja)
- Ciptakan 5,000 pengusaha/start-up baru dan 1,000 perempuan pengusaha (entah bagaimana caranya dipikirkan belakangan, mungkin bisa sekadar diberi gerobak atau lapak)
- Insentif guru honorer dan swasta (nominalnya tidak perlu dipertegas dulu, lihat anggaran nanti ada sisa berapa)
- Alun-alun dan taman hutan kota di wilayah Barat (tidak spesifik lokasi dan waktu realisasinya, yang jelas sudah malu menumpang hutan UI terus sebagai paru-paru kota dan tempat olahraga warga)
- Insentif pembimbing rohani (lagi-lagi, tidak perlu spesifik dan urgent, yang penting sebanyak mungkin bisa dibuat senang)
- Insentif RT, RW, LPM (ibid.)
- Pusat olahraga dan UMKM (terus membangun dan tebar janji manis, konsisten seperti di atas-atas)
- Wi-Fi gratis untuk masyarakat (router saja atau dibayarkan juga kuotanya?)
- Sekolah/madrasah negeri per kecamatan (infrastruktur penunjang dan kesiapan SDM belakangan dipusingkannya)
- Posyandu/pobindu di setiap RW (lama-lama jemu juga dengan program giveaway yang kurang lebih standar dari Pilkada ke Pilkada)
Pradi-Afifah tidak mau kalah dalam kompetisi giveaway kali ini, oleh karena itu disodorkan pula sepuluh janji kampanye mereka:
- Visum gratis untuk anak dan perempuan korban kekerasan (penegakan hukumnya tidak termasuk, silahkan jalan sendiri)
- Berobat gratis menggunakan KTP Depok (ada spanduk lain yang menyatakan bahwa Pemda di bawah Pradi-Afifah akan membayar iuran BPJS masyarakat alih-alih langsung menanggung penuh seluruh biaya kesehatan, jadi terlihat sedikit mirip seperti pelimpahan beban ke BPJS itu sendiri)
- Pemberian apresiasi dan insentif kepada ketua RT, RW, Linmas, kader posyandu, marbot, dan lain-lain untuk meningkatkan partisipasi dalam pembangunan (Yaaaa… miriplah dengan janji ke-6 Idris-Imam, entah siapa meniru siapa atau jangan-jangan memang miskin kreativitas dan terobosan)
- Pembukaan peluang 100,000 tenaga kerja baru melalui peningkatan kompetensi, pengembangan usaha baru, dan penyelenggaraan bursa tenaga kerja (sepertinya lupa mencantumkan janji untuk menstimulus bisnis-bisnis menengah dan besar agar mau mampir ke Depok. Tanpa keduanya, 100,000 orang ini yakin terserap semua?)
- Pengelolaan TPU dengan standar pemakaman untuk menjamin ketersediaan dan keasrian sehingga dapat berfungsi sebagai ruang terbuka hijau (inilah sulitnya menjadi kota kecil yang tidak punya tata ruang yang disiplin, sehingga lahan kosong untuk penghijauan praktis harus mengandalkan lahan kuburan)
- Pengelolaan car free day di beberapa titik wilayah yang berkontribusi terhadap promosi ekonomi kreatif dan pembangunan berkelanjutan (sudah ada beberapa misalnya di kawasan GDC, puji syukur Ormas yang jaga parkir pun kecipratan rezeki)
- Pengembangan kawasan ramah bersepeda dan penataan serta pengembangan pedestrian yang ramah pejalan kaki (sembari di saat bersamaan terus melebarkan jalan dan menambah kepadatan pusat kota sehingga bersepeda dan menyebrang jalan pun terasa seperti olahraga ekstrem)
- Pengembangan sistem layanan sosial terpadu (pendidikan, kesehatan, dan penyandang masalah kesejahteraan sosial) (lagi-lagi, harus disinggung masalah anggaran dan hasil kerja petahana selama periode pertama yang membiarkan kesenjangan tercium dalam radius beberapa ratus meter dari balaikota)
- Peningkatan kapasitas lembaga kursus dan pelatihan yang menghasilkan lulusan tersertifikasi (lagi-lagi, perlu ada usaha dua sisi untuk turut menghadirkan lapangan kerjanya)
- Pemberian beasiswa berbasis prestasi akademik, minat atau bakat, dan tahfiz Alquran (jangan sampai kalah dengan toko sebelah)
Oh iya, di luar daftar di atas Anda masih dapat menjumpai berbagai janji giveaway lainnya jika Anda memutuskan untuk wara-wiri sekitar Depok. Misalnya saja dari Pradi-Afifah masih ada janji dana RW Rp. 500 juta (total ada 900-an RW di Depok atau dengan kata lain butuh anggaran minimal Rp. 450 miliar untuk merealisasikan janji satu ini), modal wirausaha Rp. 10 juta untuk 10 KK per kelurahan per tahun, serta tidak ketinggalan BUMD pangan yang akan memberikan bantuan pangan berupa beras ke setiap KK (spanduknya ada di Jl. Kartini/Citayam serta Jl. Tanah Baru, semoga masih bisa menemukan sebelum dicopot).
Mungkin ada yang bertanya sampai di sini, “Masalahnya apa sih dengan janji-janji semacam ini? Kan bagus, uang rakyat semuanya kembali ke rakyat?”
Ada beberapa masalah yang terlihat di sini menurut penulis. Pertama, APBD Depok selama ini berada di kisaran Rp. 1 – 3 triliun dengan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) rata-rata di atas 10% tiap tahunnya. Selain menunjukkan bahwa realisasi janji kampanye tak ubahnya acara penghabisan Silpa, kenyataan ini juga menunjukkan bahwa Pemda selama ini belum begitu jelas dalam melakukan penganggaran dan pembangunan berdasarkan visi tertentu (jika ada).
Kedua, lagi-lagi kita perlu kembali pada persoalan mengenai abainya para paslon dalam menangani isu-isu yang ada di Depok. Isu-isu yang dirasa kurang seksi hampir-hampir tidak dimunculkan dalam kampanye dan debat sehingga janji kampanye yang dihasilkan pun hanya sebatas kebijakan populis yang enak didengar dan dinikmati, namun teramat pendek pertimbangannya terutama dari sisi kualitas penyerapan anggaran.
Maksudnya bagaimana? Begini, beberapa tahun belakangan PAD Kota Depok berada pada kisaran Rp. 1 – 1.2 triliun. Kendati ada tren peningkatan yang signifikan terutama dalam lima tahun terakhir, namun apabila tiba-tiba ada banyak item anggaran yang mengalami perubahan untuk mengakomodir janji kampanye semacam ini, maka hal ini dapat berdampak pada porsi penerimaan dan pengeluaran Pemda dalam beberapa tahun belakangan.
Ketiga, kita juga tidak boleh lupa bahwa pembiasaan pemberian gratifikasi instan ala akun-akun giveaway yang dilakukan oleh setiap paslon hanya akan meningkatkan ketergantungan masyarakat dengan uluran Pemda, khususnya Walikota dan Wakilnya. Mengapa hal tersebut merupakan sesuatu yang buruk?
Selain tentunya faktor penanaman mental “gratisan” yang akan mempengaruhi resiliensi masyarakat, ketergantungan juga akan membuat masyarakat lebih mudah untuk diiming-imingi politik giveaway di masa depan, sesuatu yang dampaknya adalah pelanggengan oligarki politik para elit.
Ketika suatu hari kebetulan muncul kandidat yang hendak “menegakkan kembali punggung masyarakat”, boleh jadi niat baik tersebut akan kalah dengan gaya politik yang tengah dipertontonkan saat ini oleh kedua paslon.
Keempat, dan ini yang paling membuat penulis geleng-geleng kepala, semua program dan janji ini akan dibiayai oleh kita selaku masyarakat lewat pajak yang kita bayarkan. Para paslon praktis hanya menyodorkan opsi penghamburannya mau seperti apa lima tahun ke depan, itu juga dengan asumsi seluruh janji kampanye akan terealisasi.
Hal ini membuat para paslon terlihat lebih jahat dibanding akun-akun giveaway sebab apa yang mereka berikan tidak keluar dari saku mereka. Dan pada akhirnya, kita sebagai masyarakatlah yang akan menanggung ongkosnya, baik secara material maupun immaterial.
Lantas, bagaimana kita harus memandang Pilkada Depok yang tinggal menghitung hari ini?
Terlepas dari politik tidak mendidik yang tengah dipertontonkan para paslon, Golput bukanlah sesuatu yang hendak penulis dorong di sini. Selain karena dilarang oleh negara untuk mengkampanyekan hal tersebut, ada kalanya Golput hanya akan membantu status quo dan kekuasaan oligarki tetap langgeng di singgasananya.
Oleh karena itu, pesan penulis kepada masyarakat Depok, tetaplah datang ke TPS dan gunakan hak suara Anda semua, entah untuk memilih calon mana yang mudharat-nya lebih sedikit ataupun untuk sekadar menjaga agar surat suara jatah Anda tidak dimainkan oleh oknum yang hendak berbuat curang.
Pilkada kali ini bukanlah yang terakhir dan masyarakat harus tetap optimis hingga suatu hari Depok kebagian berkah pemimpin yang arif nan bijaksana layaknya dongeng kerajaan Nusantara. Sampai saat itu tiba, sebagaimana Donald Trump pernah menyuarakan slogan "Make America Great Again", izinkan penulis menitipkan slogan “Make Depok Suck Less” kepada para pembaca yang berasal dari Depok agar setiap tindakannya selalu diiringi tekad untuk mengurangi nestapa kota kecil ini. Semoga saja…
Referensi
wikipedia.org
suara.com
suara.com
ayobogor.com
kompas.com
kompas.com
kompas.com
beritasatu.com
kompas.com
viva.co.id
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H