Mohon tunggu...
Satya Anggara
Satya Anggara Mohon Tunggu... Lainnya - Academic Researcher and Investor

Menyajikan tulisan seputar dunia investasi, bisnis, sosial, politik, humaniora, dan filsafat. Untuk korespondensi lebih lanjut, silahkan hubungi melalui kontak yang tertera di sini.

Selanjutnya

Tutup

Financial Artikel Utama

Bijak Belanja Bluechips: Menakar Kelayakan Optimisme Pasar Saham Hari Ini

27 November 2020   09:57 Diperbarui: 28 November 2020   08:37 958
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
IBM, salah satu penghuni Nifty Fifty di Amerika Serikat pada masanya Sumber Gambar: https://www.forbes.com/

Sebulan belakangan, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengalami penguatan signifikan dari rentang Rp. 5,000 yang telah terjadi selama beberapa bulan sebelumnya menuju level saat ini, yaitu Rp. 5,700 (pertumbuhan sekitar 14%).

Data mengenai kinerja sejumlah reksadana saham papan atas di Indonesia sepanjang Oktober hingga November turut mengamini fenomena ini, di mana rata-rata NAB produk reksadana jenis ini terapresiasi 15 – 25% dari level sebelumnya di kuartal ketiga 2020.

Rally semacam ini tentunya merupakan kabar baik bagi sebagian besar investor tanah air yang portfolio sahamnya ikut terkerek naik, hingga hampir atau bahkan sudah melewati level sebelum pandemi.

Kabar mengenai perkembangan vaksin COVID-19 merupakan salah satu faktor utama yang menunjang optimisme ini di samping juga prediksi mengenai masa depan ekonomi memasuki tahun 2021 dan seterusnya yang dipandang oleh sejumlah kalangan menyimpan beraneka peluang bagi pelaku ekonomi yang jeli membaca situasi.

Para investor dan regulator lantas berbondong-bondong memanfaatkan momentum rally ini untuk mengubah sejumlah strategi dan kebijakan yang telah diterapkan sebelumnya.

Misalnya saja, dengan membaiknya harga saham, sebagian investor mulai meninggalkan aset-aset safe haven seperti emas dan surat utang negara yang sebelumnya digunakan untuk tujuan lindung nilai selama krisis ekonomi. Hasil penjualan aset-aset ini kemudian diinvestasikan kembali di pasar saham sebelum “ketinggalan kereta”.

Dampaknya, harga emas sebagaimana dicatatkan di butik emas ANTAM mengalami penurunan dari level di atas Rp. 1 juta per gram hingga kini berada di sekitar level Rp. 953 ribu per gram.

Selain investor, regulator turut memanfaatkan momentum saat ini. Bank Indonesia, misalnya, telah menurunkan suku bunga acuan sebesar 25 basis poin ke level 3.75% guna menstimulus kredit dan investasi. Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) turut menurunkan bunga penjaminan sebesar 50 basis poin menjadi 4.5% untuk tujuan yang sama.

Dengan mengalirnya kembali arus modal ke dalam pasar saham, pertanyaan berikutnya yang muncul di benak para investor tentunya adalah, “Mau beli saham apa?” Hampir seluruh saham mengalami koreksi sepanjang tahun 2020 ke level yang lazimnya jarang terjadi pada kondisi normal. Pun dengan momentum seperti saat ini, rasa-rasanya valuasi saham masih nampak murah, iya kan?

Dalam sebagian kasus, iya. Beberapa kasus ekstrem dapat kita temukan pada saham-saham dari sektor keuangan. Saham PT Paninvest, Tbk. (PNIN), misalnya, sudah melesat dari level Rp. 700 menuju hampir Rp. 800 dalam dua minggu terakhir (setara dengan kenaikan sebesar 14%!), kendati secara fundamental masih sangat undervalued (sebagai gambaran, dengan kapitalisasi sebesar Rp. 3 triliun, laporan keuangan semester pertama 2020 memperlihatkan adanya aset berupa kas sebesar Rp. 5 triliun sebagai bagian dari keseluruhan aset sebesar Rp. 31 triliun).

Ada juga saham dari sektor jasa seperti PT Global Mediacom, Tbk. (BMTR) milik MNC Group yang belakangan merangkak naik hampir 50% dari level Rp. 216 pada akhir Oktober 2020 hingga sampai di level Rp. 290 pada saat ini. Kendati naik signifikan, kapitalisasi perusahaan yang sebesar Rp. 4.5 triliun ini masih jauh di bawah nilai aset bersihnya yang sebesar Rp. 19.6 triliun.

Kedua saham di atas memperlihatkan bahwa di tengah rally sekalipun, peluang untuk masuk dan mengoleksi saham masih terbuka lebar, paling tidak dari sudut pandang fundamentalis.

Akan tetapi dalam kebanyakan kasus, peluang biasanya tidak akan lama tersedia. Para pelaku pasar cepat atau lambat akan segera tahu mengenai peluang yang ada dan kemudian berlomba-lomba merengkuh peluang tersebut, kendati sejatinya apa yang mereka lakukan hanyalah sebatas antisipasi terhadap kemungkinan yang ada, sesuatu yang belum pasti akan terjadi.

Itu sebabnya saham-saham receh seperti kedua emiten di atas akan lebih volatile ketimbang sejawatnya yang lebih mahal alias jajaran bluechips. Berita baik dan buruk, seburam apapun sisi benarnya, akan memantik tindakan jual/beli sebagai langkah antisipatif para pelaku pasar.

Bahkan, jika Anda adalah penganut Efficient Market Hypothesis, maka tidak ada peluang bagi Anda untuk menjual/membeli saham di harga yang bagus sebab semuanya sudah diantisipasi oleh para pelaku lain sebelum Anda sadar. Berkembangnya TIK yang memungkinkan trading untuk dilaksanakan secara otomatis semakin memperkuat pandangan ini bagi sebagian kalangan.

Oleh karena volatilitas ini, beberapa orang memandang saham receh sebagai instrumen investasi yang berisiko. Kalangan ini kemudian menyasar saham-saham bluechips yang dipandang sudah lebih mapan, baik dari sisi bisnis maupun harga saham, dengan harapan setidaknya mereka dapat mendulang untung dari dividen dan pertumbuhan berkesinambungan perusahaan secara jangka panjang (yang mudah-mudahan diikuti oleh harga sahamnya).

Beberapa contoh yang cukup populer di Indonesia adalah saham BCA yang saat ini harganya bertengger di Rp. 32,000 (kapitalisasi setara Rp. 790 triliun) dan juga Gudang Garam yang saat ini harganya berkisar di Rp. 44,000 (kapitalisasi setara Rp. 85 triliun).

Saham bluechips, selain dicirikan dengan harga yang mahal, juga biasa dicirikan dengan produk yang cukup populer di masyarakat. BCA misalnya, merupakan bank swasta terbesar di Indonesia dengan aset sebesar Rp. 1,000 triliun, fakta yang menunjukkan betapa dipercayanya BCA oleh masyarakat dalam urusan perbankan.

Gudang Garam? Penulis kira tidak sulit jika kita mencoba jalan-jalan keluar di jam-jam sibuk dan mencari sekumpulan orang yang sedang asyik menikmati rokok keluaran perusahaan tersebut, entah dari kalangan pekerja kasar hingga karyawan berdasi, suatu gambaran yang menunjukkan betapa populernya merek ini di kalangan perokok.

Selain harga dan produk, kesan elit yang dipancarkan oleh bluechips juga dapat Anda lihat pada jumlah saham yang beredar. Bagi perusahaan seperti Gudang Garam, saham yang beredar tidak sampai sebanyak 2 miliar lembar, sehingga jika sewaktu-waktu ingin menerbitkan saham baru, 100 juta lembar mungkin terkesan sangat banyak.

Akan tetapi bagi saham-saham receh yang jumlah sahamnya bisa mencapai ratusan miliar lembar, menerbitkan beberapa miliar lembar saham baru akan sangat nihil dampaknya bagi struktur modal perusahaan.

Keunggulan kualitatif, singkatnya, sering menjadi alasan utama bagi investor, terutama dari kalangan awam, untuk memberi saham-saham bluechips sebagai instrumen investasinya. Tidak jarang, tanpa kita sadari, sebagian dari kita mungkin memiliki anggapan bahwa tidak ada harga yang terlalu tinggi bagi bluechips.

Pengalaman pribadi mengonfirmasi hal ini. Penulis pernah mengadakan kegiatan Sekolah Pasar Modal yang dikerjasamakan dengan Bursa Efek Indonesia dan salah satu sekuritas yang cukup populer. Pada satu sesi, pemateri dari sekuritas pernah memberikan komentar mengenai saham salah satu bank BUMN yang juga tergolong sebagai bluechips,

“Perusahaannya nggak mungkin bangkrut, Bapak dan Ibu, karena kalau sampai bangkrut itu berarti negara kita collapse. Beli sahamnya sambil merem aja ini.”

Yang luput dari penjelasan beliau saat itu (entah disengaja atau tidak) adalah fakta bahwa hari ini, setelah dua tahun berlalu, harga saham bank ini nyaris tidak bergeming. Sementara itu di saat bersamaan, dividend yield sahamnya hanyalah sebesar 3 – 4% per tahun, membuat imbal hasil investasi di bluechips semacam ini bahkan lebih buruk dibanding deposito di banknya sendiri.

Lantas, mengapa ada bluechips yang performanya jauh dari memuaskan seperti ini, sedangkan masih ada juga yang performanya di atas rata-rata? Bagaimana pula kita dapat bersikap dengan lebih bijak pada iklim investasi hari ini sehubungan dengan animo yang tinggi untuk mengoleksi bluechips?

Untuk menjawab keduanya, kita perlu menyimak sejarah singkat mengenai “Nifty Fifty”, kelompok saham bluechips di Amerika Serikat pada tahun 1960 – 1970 dan apa yang terjadi setelahnya pada saham dan perusahaan yang ada di dalam kelompok ini.

Istilah Nifty Fifty merujuk pada sekelompok saham bluechips yang bukan hanya memiliki kapitalisasi raksasa pada masanya, melainkan juga prospek bisnis dan kinerja di atas rata-rata. Kendati demikian, tidak pernah ada daftar resmi saham yang masuk ke dalam kategori ini berhubung kategori ini bukanlah indeks resmi.

Beberapa perusahaan yang cukup ternama di dalam kelompok ini mencakup Coca Cola, Disney, Kodak, dan Xerox. Kendati merupakan bluechips pada masanya, namun seiring dengan berjalannya waktu, kondisi keempat perusahaan ini sekarang berbeda-beda. Coca Cola dan Disney masih menjadi yang terdepan di bidangnya, sementara Kodak dan Xerox terpinggirkan oleh pesatnya kemajuan teknologi.

Pada masa gemilangnya, saham-saham di dalam Nifty Fifty bukan hanya mampu memberikan pertumbuhan signifikan yang terlihat dari besaran return on investment, melainkan juga menawarkan harga premium bagi peminatnya.

Sebagai kelompok saham yang dibeli dan disimpan untuk jangka panjang karena prospeknya yang dipandang gemilang, saham-saham Nifty Fifty umumnya memiliki nilai Price to Earning Ratio (PER) beberapa kali lipat di atas rata-rata indeks.

Hal ini ditunjang oleh minimnya penawaran dan tingginya permintaan terhadap kelompok ini serta oleh anggapan bahwa tidak ada harga yang terlalu mahal untuk Nifty Fifty.

Sedikit mengulas ulang, PER merupakan indikator yang menilai seberapa tinggi investor mau membayar untuk setiap Rupiah atau Dollar keuntungan bersih perusahaan. Misalnya jika suatu perusahaan mampu menghasilkan keuntungan tahunan sebesar Rp. 100 dengan harga saham Rp. 1,000, maka nilai PER-nya adalah 10. Semakin tinggi nilai PER, semakin mahal saham bersangkutan.

Tingginya harga saham Nifty Fifty berdasarkan PER dapat Anda lihat pada perusahaan seperti Coca Cola dan Disney yang dibanderol dengan PER 80 – 90. Artinya, investor pada saat itu rela menunggu 80 – 90 tahun hingga balik modal dengan asumsi keuntungan dan harga saham perusahaan senantiasa stagnan.

Ekspektasi ini tentu saja di luar nalar investasi. Jika hari ini Anda mendapati saham dengan PER yang sedemikian besarnya, maka tentu Anda akan berputar balik dan mencari peluang investasi di tempat lain.

Ironisnya, tingginya ekspektasi inilah yang menciptakan epilog antiklimaks bagi kelompok Nifty Fifty. Seiring dengan krisis yang mendera Amerika Serikat kala itu akibat skandal Watergate dan embargo minyak bumi dari Timur Tengah, serta perkembangan teknologi yang mendorong lahirnya kompetitor bagi perusahaan dalam kelompok Nifty Fifty, sebagian besar perusahaan dalam kelompok ini kehilangan 50 – 90% kapitalisasinya dalam sekejap.

Xerox dan Kodak, misalnya, bukan hanya mengalami kerontokan harga saham hingga 90%, melainkan juga tenggelam dalam persaingan bisnis di sektornya sebagai akibat dari enggannya kedua perusahaan ini untuk terus berinovasi. Praktis, lenyaplah status bluechips yang selama ini erat dengan keduanya. Bersamaan dengan itu, tidak sedikit investor pada kedua perusahaan tersebut yang mengalami kerugian signifikan.

Nasib kelompok Nifty Fifty tidak semuanya berakhir tragis. Coca Cola dan Disney, misalnya, kendati sempat mengalami koreksi besar-besaran, mampu kembali bangkit karena ditunjang oleh bisnis yang solid. Selain itu, sebagian saham Nifty Fifty jika diamati dengan rentang waktu yang lebih panjang hingga masuk ke tahun 2000-an awal tetap mencatatkan performa kumulatif dan tahunan yang gemilang dengan rentang pertumbuhan investasi tahunan berkisar antara 10 – 18%.

Pada akhirnya, kita perlu menyadari bahwa saham bukan hanya harus dinilai berdasarkan sisi bisnisnya, melainkan juga kemasukakalan harganya. Membeli dengan harga yang salah sama fatalnya dengan membeli saham dari emiten yang bisnisnya bobrok.

Hari-hari ini, pasar saham Indonesia dan beberapa negara di dunia tengah dirundung optimisme yang hampir tidak pernah sekuat ini sebelumnya di tahun ini. Ada harapan bahwa semuanya akan segera kembali normal dan oleh sebab itu banyak investor yang enggan ketinggalan kereta dan memilih untuk segera terjun ke medan laga.

Kendati pada satu sisi kalangan investor yang lebih pandai sudah lebih berani untuk terjun di saham-saham receh, di sisi lain masih banyak investor awam yang lebih memilih bluechips sebagai pilihan instrumen investasinya karena anggapan terkait risiko yang rendah dan pertumbuhan yang memuaskan.

Apabila anggapan ini terbukti keliru, kita mungkin akan menjumpai saham-saham Nifty Fifty lainnya di Indonesia seperti bank BUMN yang sempat penulis singgung di awal atau perusahaan telekomunikasi BUMN lainnya yang sempat dikeluhkan analis lain karena harganya masih saja bertengger di posisi yang sama seperti lima tahun yang lalu.

Pada akhirnya, keberhasilan investasi saham dapat dikerucutkan pada aspek harga dan kinerja perusahaan. Dengan sikap yang lebih bijak dalam menyikapi euforia yang terjadi belakangan di pasar saham, semoga kita dapat menghindarkan diri dari kerugian permanen yang signifikan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Financial Selengkapnya
Lihat Financial Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun