Reksadana? Oke, mungkin lebih aman. Tapi apakah kita sanggup menunggu nilainya naik perlahan? Logikanya di dalam pengelolaan reksadana, manajer mengutamakan diversifikasi dan sebisa mungkin mereplikasi pergerakan IHSG.Â
Sejalan dengan strategi tersebut, Anda tentu tidak dapat mengharapkan return yang jauh lebih spektakuler ketimbang indeks itu sendiri (terkhusus mengenai diversifikasi, penulis mungkin akan membahasnya secara terpisah di lain waktu).
Bagaimana dengan sukuk, ETF, P2P lending, dsb? Lagi-lagi, Anda tetap dituntut untuk memiliki pemahaman yang cukup dan "perut yang kuat" sebagai investor apabila hendak berinvestasi di salah satu kendaraan ini. Tanpanya, Anda hanya akan diombang-ambing oleh dinamika pasar dan para pemain besarnya.
Kenyataan semacam ini membawa kita pada polemik kedua yang lebih sistematis, yakni sulitnya memperoleh bahan pembelajaran yang memadai terkait dunia saham. Betul bahwa selama ini sejumlah instansi terkait seperti otoritas bursa dan sekuritas telah mengupayakan pemberian edukasi mengenai investasi saham.Â
Misalnya saja, bursa secara rutin mengadakan Sekolah Pasar Modal (SPM), hasil kerja sama dengan sekuritas tertentu untuk memberikan edukasi sekaligus memudahkan pembukaan rekening bagi investor sehingga ketika selesai acara, investor bukan hanya teredukasi, melainkan juga dapat langsung memulai. Selain itu, sekuritas sendiri kini gencar mengadakan program pelatihan dan diskusi gratis bagi para kliennya.Â
Yang kemudian menjadi persoalan, baik SPM maupun kegiatan lain yang diadakan secara mandiri oleh sekuritas nyatanya jauh dari kata "memadai" dalam mengedukasi para investor. Mengapa demikian?
Mari kita mulai dari SPM. Penulis pernah mengikuti dua rangkaian SPM. Yang pertama diadakan di bursa di mana penulis datang sebagai individu dan yang kedua merupakan hasil kerja sama antara komunitas tempat penulis bernaung dengan bursa.Â
Yang penulis amati, materi yang diberikan dalam kegiatan SPM sangat tidak seberapa banyaknya dibanding apa yang butuh diketahui oleh investor.
Tentu ada materi, misalnya, mengenai apa itu saham dan bagaimana valuasinya terbentuk, namun keduanya tidak dapat dipertajam dalam pembahasan lebih lanjut akibat keterbatasan waktu.Â
Terdapat juga materi mengenai indikator valuasi populer seperti misalnya Price-to-Earning Ratio (PER), namun yang tidak dijelaskan adalah bagaimana cara mendapatkan angka earning sesungguhnya yang rawan dimanipulasi oleh manajemen perusahaan.Â
Masih banyak lagi keterbatasan yang ada di dalam SPM yang hingga kini masih diupayakan untuk diperbaiki. Namun bahkan SPM itu sendiri masih kurang populer di kalangan investor awam.Â