Sepanjang sejarah, kita telah melihat bagaimana proses demokrasi memainkan peranan penting dalam mengubah kondisi hidup suatu komunitas, entah itu kota, provinsi, maupun negara. Seperti pedang bermata dua, proses demokrasi dapat melahirkan pemimpin yang kompeten dan beradab, atau justru melahirkan pemimpin yang dungu lagi biadab.
Dewasa ini, pesta demokrasi tidak lengkap rasanya jika tidak dibarengi dengan kicauan dan arus informasi yang mengalir deras di media massa dan elektronik baik sebelum, selama, maupun sesudah pesta tersebut.
Kita tidak asing lagi dengan istilah-istilah seperti "black campaign", "hoax", dan "buzzer" yang penggunaannya terkait erat dengan dunia perpolitikan. Dunia dalam internet adalah sebuah ruang besar yang terus dibanjiri informasi (entah benar atau salah kontennya) yang sifatnya nyaris real-time (Castells, 2010 [1996]).Â
Kita sering tenggelam dan terisolir di dalamnya berkat hasil kerja manipulatif dari informasi yang tidak mampu kita pilah dan interpretasikan dengan cukup bijak.
Bayangkan saja, misalnya, untuk pertama kalinya Anda mampu menyebarluaskan informasi mengenai perceraian pasangan artis tanah air seolah itu adalah berita penting bagi masyarakat dari Sabang sampai Merauke, menyebabkan kegaduhan di antara kedua keluarga mereka, namun masih tetap dapat menghasilkan uang dari monetasi konten sembari menjadikan orang lain sebagai "kambing hitam" ketika muncul tuntutan hukum. Oh betapa indahnya dunia dalam internet.
Daya ungkit potensial dari internet telah lama diketahui di dalam dunia politik. Tengok misalnya bagaimana fenomena "Teman Ahok" yang diprakarsai oleh lima orang anak muda mampu memanfaatkan kejengahan masyarakat terhadap situasi politik yang penuh Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN) untuk mendulang dukungan sejumlah satu juta KTP guna mencalonkan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagai Calon Gubernur DKI Jakarta dari jalur independen (kendati pada akhirnya Ahok diusung Parpol juga).Â
Dengan memanfaatkan peran media sosial, gerakan ini dipandang sebagai salah satu indikasi bahwa demokrasi di Indonesia telah memasuki babak baru di mana gerakan massa di luar Parpol kini mampu mengusung calon pejabatnya sendiri (Ritaudin, 2016).
Parpol pun turut mengadopsi media elektronik dalam rangka mendekatkan diri dengan konstituen dan bertahan hidup. Di sini terdapat kesadaran mengenai pentingnya opini publik dalam menentukan masa depan karir politik seorang figur atau Parpol. Potongan informasi diseleksi dan disirkulasikan dalam jejaring internet dalam rangka membentuk opini tertentu di tengah masyarakat.Â
Partisipasi masyarakat merupakan faktor penting yang tidak perlu diperdebatkan lagi dalam konteks kehidupan demokrasi. Akan tetapi kita juga harus menyadari bahwa melalui peran partisipasi ini pula, situasi politik mungkin dapat menjadi keruh, misalnya saja melalui penguatan politik identitas. Terbukti, kenyataan ini pula yang sedikit-banyak menjadi alasan di balik kekalahan Ahok di Pilgub DKI 2017, kendati ia merupakan incumbent.Â
Alih-alih menguatkan meritokrasi dalam proses pengusungan figur politik, daya ungkit internet dan media elektronik lebih banyak memperkuat primordialisme dalam panggung politik. Narasi "Saya merupakan warga keturunan suku X dengan agama A" seolah lebih kuat dibanding narasi "Saya berpengalaman di bidang H, I, J, K, dan seterusnya" ketika dijadikan faktor penentu elektabilitas.
Yang kemudian semakin menarik ketika penulis mendalami fenomena ini, penulis menemukan adanya semacam krisis eksistensial yang menjangkit mereka yang memimpin dan dipimpin.