Pandemi Covid-19 menjejakkan kakinya di Indonesia pada awal tahun 2020 tanpa kata permisi sebelumnya. Setelah sebelumnya pemerintah dan masyarakat berguyon bersama tentang Sang Virus yang konon katanya tak akan mampir ke Indonesia karena kalah saing dengan virus dan kuman lokal, kini gantian Sang Virus menertawakan kita semua yang dibuat merana akibat minimnya persiapan dan bodohnya keangkuhan yang kita pertontonkan. Kini, sebagaimana nyawa-nyawa manusia dibuat tidak berdaya menghadapi ganasnya virus tak bervaksin ini, perekonomian juga berjalan beriringan dengan nasib kita. Terjadi perlambatan ekonomi secara signifikan, entah akibat operasional bisnis yang disetop PSBB atau akibat menurunnya daya beli masyarakat.
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada kuartal pertama 2020 mencerminkan perlambatan ini. Pasca menyentuh level tertinggi tahun ini pada tanggal 15 Januari 2020 di angka Rp. 6.348, IHSG terjun bebas ke titik terendah tahun ini pada tanggal 24 Maret 2020 di angka Rp. 3.911 (indopremier.com). Sejumlah emiten bahkan tercatat mengalami koreksi hingga lebih dari 50%. Tidak sedikit analis yang membandingkan kondisi ini dengan krisis ekonomi yang terjadi di masa lalu seperti misalnya krisis tahun 1998 atau 2008. Beberapa menyatakan kita telah memasuki masa resesi ketimbang krisis, beberapa lainnya menyatakan pemulihan ekonomi mungkin akan memakan waktu beberapa tahun. Kini kendati mulai terjadi pelonggaran dengan diberlakukannya kebijakan New Normal, kegiatan bisnis, menurut sejumlah pengamat, tidak akan serta-merta beroperasi 100% bahkan hingga awal tahun 2021 nanti.
Anehnya, di tengah pesimisme yang merebak terkait masa depan ekonomi Indonesia, kuartal kedua 2020 menunjukkan terjadinya rally pada sejumlah saham. Beberapa bahkan hampir memulihkan kembali harganya ke level semula sebelum terjadinya pandemi. IHSG merangkak naik dan saat ini (1/7/2020) bergerak di sekitar level Rp. 4.900 hingga Rp. 5.000. Seakan acuh terhadap kondisi ekonomi di lapangan, harga saham bergerak dengan tempo dan iramanya sendiri. Pertanyaannya, kok bisa?
Jawaban sederhananya terletak pada sifat alamiah dari pasar saham itu sendiri yang pada dasarnya adalah pasar. Pasar merujuk pada tempat atau proses yang menjembatani penjual dan pembeli dalam melakukan pertukaran dan pada gilirannya juga memicu terjadinya ekuilibrium harga melalui mekanisme tawar-menawar (Purwanti, dkk., 2012). Bagaimana terjadinya formasi harga, dengan kata lain, ditentukan oleh konsensus para pelaku di dalamnya, yakni penjual dan pembeli (dan dalam beberapa kasus, regulator seperti pemerintah). Masalahnya, penentuan harga bukanlah sesuatu yang eksak sebagaimana menentukan besaran tekanan di fisika atau nilai pH di kimia. Jika pada suatu waktu para pelaku pasar sepakat bahwa barang A bernilai Rp. 1.000.000, sedangkan besoknya semua sepakat nilainya menjadi Rp. 100, maka sejumlah itulah nilainya.
Lantas, apa yang menyebabkan munculnya kesepakatan ini? Tentu para pelaku tidak asal-asalan menuliskan nominal sebagaimana menuliskan angka togel (meski dalam beberapa kesempatan, hal inilah yang terjadi). Ada alasan bagi sesuatu untuk menjadi lebih berharga dibanding hal lain. Jika dalam ajaran ekonomi klasik alasannya terletak pada utilitas yang diasumsikan objektif, dalam ajaran neoklasik kita diperkenalkan dengan faktor lain yang lebih subjektif seperti sentimen pribadi. Ini mengapa lukisan bisa lebih berharga dibanding berhektar-hektar perkebunan sawit dalam kasus tertentu, misalnya.
Secara khusus di dalam pasar saham, stimulus utama dari pergerakan harga adalah ragam berita yang diinterpretasikan secara bervariasi oleh para pelaku. Di atas, misalnya, kita telah melihat bagaimana pemberitaan mengenai Covid-19 menciptakan sentimen negatif di awal tahun pada pergerakan harga saham dan bagaimana pengumuman kebijakan New Normal memberikan sentimen positif pada gilirannya. Rumitnya bertransaksi di pasar saham, kita tidak selalu dapat secara tepat meramalkan apakah suatu berita akan memberikan sentimen positif atau negatif terhadap pergerakan harga saham. Kita bahkan tidak tahu secara pasti berita mana yang akan berdampak signifikan. Semua bergantung pada bagaimana para pelaku menginterpretasikan informasi yang ada dan mencapai konsensus mengenai dampaknya terhadap kinerja emiten dan pergerakan harga saham. Beberapa saham, misalnya, bergerak naik saat pengumuman pembagian dividen kendati yield dan payout ratio-nya kecil, sementara beberapa lainnya berlawanan.
Melihat betapa longgarnya hubungan antara situasi ekonomi dengan pergerakan harga saham serta sulitnya menebak secara akurat dan konsisten pergerakan tersebut, penulis teringat kepada mendiang Benjamin Graham, sosok yang dianggap sebagai guru besar di dunia pasar modal. Di dalam magnum opus-nya yang berjudul "The Intelligent Investor", Graham telah jauh-jauh hari memberikan peringatan sekaligus penekanan terkait dunia pasar modal, termasuk di dalamnya pasar saham, ketika pada bab pertama sang guru besar mendefinisikan pemilahan antara apa yang disebut sebagai "investasi" dengan apa yang disebut sebagai "spekulasi". Pemilahan ini hingga sekarang menjadi populer di kalangan pelaku pasar modal,
'An investment operation is one which, upon thorough analysis promises safety of principal and an adequate return. Operations not meeting these requirements are speculative.'
Pembacaan awam terhadap kutipan ini mensyaratkan kegiatan investasi memuat sekurang-kurangnya tiga hal: (1) adanya analisis mendalam terkait instrumen investasi; (2) tingkat keamanan yang tercermin dari selisih nilai intrinsik instrumen jika dibandingkan dengan harga yang tertera; serta (3) imbal hasil yang memadai. Menariknya, dalam halaman-halaman selanjutnya di buku yang sama, Graham secara implisit menyatakan bahwa sulit bagi kita untuk menghindari sisi spekulatif dari pasar modal. Misalnya saja pada bagian ini,
'In most periods the investor must recognize the existence of a speculative factor in his common-stock holdings. It is his task to keep this component within minor limits, and to be prepared financially and psychologically for adverse results that may be of short or long duration.'
Juga pada bagian ini,
'...some speculation is necessary and unavoidable, for in many common-stock situations there are substantial possibilities of both profit and loss, and the risks therein must be assumed by someone. There is intelligent speculation as there is intelligent investing.'
Ketika penulis mendalami bab ini pertama kali, sulit rasanya untuk menguak hal-hal implisit yang berusaha dinyatakan oleh Graham mengenai hakikat dari pasar modal berikut aktivitas di dalamnya. Pada satu sisi, Graham menekankan pentingnya kesadaran dan pemahaman mendalam saat berinvestasi di pasar modal. Di sisi lain, Graham juga tidak menyangkal bahwa sepertinya mustahil untuk selalu berada di jalan yang lurus dan mulus karena banyak hal seperti ketidaktahuan dan kekeliruan yang menyebabkan terjadinya kerugian dari kegiatan investasi. Tanpa daya, pembaca dari ketiga paragraf di atas dibawa menuju satu kesimpulan: investasi perlu melibatkan spekulasi di dalamnya. Hal ini seakan membuat keterlepasan antara harga saham dengan kondisi ekonomi saat ini menjadi sesuatu yang lumrah dan tidak dapat disikapi dengan lebih baik kecuali dengan turut berpartisipasi dalam "perjudian" yang ada.Â
Akan tetapi jika dipikirkan dengan lebih matang dan hati-hati, ungkapan Graham di atas justru menyiratkan hal yang sama sekali berbeda. Justru karena terdapat potensi ketidaktahuan dan kekeliruan, kita perlu menggali lebih banyak informasi dan lebih jeli dalam menginterpretasikannya. Jika hasil penelusuran dan pembacaan kita terbukti akurat, maka kita akan meraup keuntungan dari kegiatan investasi. Sedangkan jika ternyata keliru, setidaknya kita dapat meminimalisir kerugian yang ditimbulkan (dan mungkin juga menemukan cara lain untuk memperoleh keuntungan).
Mari sekarang masuk ke contoh kasusnya agar lebih mudah dipahami. Katakanlah investor A, setelah menggali cukup banyak informasi, menemukan saham perusahaan X dengan harga pasar saat ini Rp. 1.000. Nilai buku per lembar (Book-Value per Share) saham perusahaan X ternyata sebesar Rp. 5.000 (sekitar Rp. 2.000 nilai tersebut dalam bentuk surat berharga) dengan keuntungan bersih per lembar saham sebesar Rp. 500 namun tanpa dividen (percayalah, penulis pernah menemukan saham yang mirip seperti ini dan alasan dari valuasi serendah ini biasanya karena ketiadaan dividen dan pemberitaan yang jarang akibat analis bosan mengikuti saham ini).Â
Investor A memprediksi bahwa harga saham akan merangkak naik ke level yang lebih wajar hingga setidaknya Rp. 3.000 per lembar. Prediksi tersebut bisa saja benar, dan dalam skenario tersebut A dapat menjual saham X dan memperoleh keuntungan 200%. Namun bagaimana jika harga saham tak kunjung naik? Ada cara lain yang bisa A lakukan dalam situasi ini. Ia bisa terus membeli saham perusahaan X hingga ia memperoleh persentase kepemilikan mayoritas di perusahaan (ingat, saham adalah representasi kepemilikan atas perusahaan). Dengan suara mayoritas, A dapat "memaksa" perusahaan menjual seluruh surat berharga mereka dan membagikan hasil penjualan sebagai dividen kepada investor (iya, hal ini memungkinkan dan lumrah di dunia pasar modal). Sedikit intermezzo, Warren Buffett pernah mengalami situasi semacam ini saat ia memiliki saham di perusahaan Sanborn Map. Hasilnya, A tetap dapat memperoleh keuntungan sebesar 200% kendati harga sahamnya tidak bergeming.
Melalui contoh ini, penulis berharap dapat sedikit meluruskan kembali apa yang dimaksud oleh Graham melalui tulisannya berpuluh-puluh tahun yang lalu, sekaligus memberikan sedikit optimisme bagi para pelaku pasar modal dalam menyikapi absurditas saat ini. Dengan tetap mengedepankan penggalian informasi secara mendalam dan hati-hati, bukan tidak mungkin justru saat inilah waktu yang tepat untuk masuk ke pasar modal, berkaca dari valuasi yang belum sepenuhnya pulih yang membuat banyak emiten berkualitas dijual dengan harga miring. Kondisi tertentu kadang berpotensi mendorong terjadinya spekulasi, namun sebagai investor, penting juga bagi masing-masing individu untuk dapat mengendalikan risiko dari ketidaktahuan dan kekeliruan saat salah satu atau bahkan keduanya muncul ke permukaan.
Referensi:
Graham, B. (1949). The Intelligent Investor. Amerika Serikat: Harper & Brothers
Purwanti, N. I., Khoerunnisa, R., Prasetyo, A. E., & Annisa, F. R. (2012). Mengkaji Perbandingan Pola Perilaku Konsumen di Pasar Modern (Retail) dan di Pasar Tradisional. Indonesia: Universitas Wijaya Kusumaa Surabaya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H