Mohon tunggu...
Yudha Satya
Yudha Satya Mohon Tunggu... -

In the journey to excellence\r\nwww.twitter.com/satya_yudha

Selanjutnya

Tutup

Money

Loyalty Beyond Reason

16 Agustus 2012   05:05 Diperbarui: 25 Juni 2015   01:41 84
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13450933792000600644

Membuka plastik. Menciumnya. Membaca daftar isi. Menggigit donat (biasanya kiwi tart). Dan memulai membaca dari bab yang paling menarik.

Entah sudah kali yang keberapa saya melakukan “ritual” ini, tapi saya menikmati setiap detiknya – selama mungkin.

Banyak sekali toko buku yang lengkap dan banyak sekali toko donat yang lebih enak, namun tempat favorit saya untuk menikmati keduanya adalah Gramedia Matraman, tempat itu membuat saya nyaman.

Kevin Robert, CEO Worldwide Saatchi & Saatchi pernah berkata“keinginan membeli pelanggan itu irasional, mereka merasakan dunia lewat lima indera yang dimiliki, dan itu yang terpenting”

Ternyata paduan nyamannya sofa, bau lembaran buku, rasa kiwi tart, membaca kata-per-kata, dan keheningan itu blended dan membetahkan saya nyaman berlama-lama singgah di sana.Kelima indera itu bekerja secara otomatis, simultan, dan tanpa bantuan logika telah “menjebak” diri saya untuk loyal terhadap tempat itu.

Karena tanpa bantuan logika itu seolah loyalitas terbentuk secara tidak sadar (unconscious), dan memang hal ini dibuktikan oleh George Lakoff dan Market Johnson dalam Philosophy in the Flesh: The Embodied Mind and Its Challenge toWestern Thought,bahwa 95% tingkah laku manusia adalah unconscious, rupanya evolusi otak kita masih menyisakan limbic system (feeling brain) dan reptilian complex (unconscious brain) dalam strukturnya sehingga tidak ada seorang pun yang immune terhadap pengaruh pada unconscious emotion-nya (Paul MacLean, The Triune Brain in Evolution: Role inPaleocerebral Functions)

Seorang petinggi Starwood Hotel pernah berkata“Saat ini, kami tidak lagi berada dalam bisnis menjual “jasa penginapan”, namun sudah beralih ke “menjual kenangan”. Sehingga kami rasa lebih membutuhkan seorang Experience Manager dibandingkan Brand Manager”

Maksud beliau adalah, jika kita mengelola merek (brand management) maka kita akan fokus pada apa yang dirasakan pelanggan terhadap produk/ jasa kita. Sedangkan apabila yang kita kelola adalah pengalaman (experience management) maka kita fokus pada apa yang dirasakan oleh pelanggan terhadap dirinya sendiri.

Ambil contoh Starbuck, saat ini, hampir setiap stall starbuck di mall manapun hampir penuh. Yang jadi pertanyaan adalah apakah pelanggan yang ada di sana karena merek starbuck yang international atau karena memang pengalaman nyaman itu yang diberikan. Bagi saya kopi racikan cak Eko pemilik warung gresik sebelah kampus dulu itu yang memberi kesan nyaman

sumber gambar: theeyeoffaith.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun