Mohon tunggu...
Satya Ndaru
Satya Ndaru Mohon Tunggu... -

Pembelajar. Penikmat peradaban.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Netral Vs Politik Berpihak di Negeri Administratif

10 Maret 2015   00:54 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:55 108
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ada 2 (dua) tipologi politik dalam perjalanan setiap rezim, yaitu Politik Netral dan Politik Berpihak. Sebuah rezim bisa menjadi sebuah rezim yang utuh dan legitimate ketika dia (rezim) sudah menjalani fase peraduan politik yang panjang, bukan hanya berdasarkan pergerakan yang terlimitasi seperti 5 atau 10 tahun. Seperti kupu-kupu, ketika sedang berada pada fase calon rezim, dia berusaha melengkapi anatomi tubuhnya dengah melakukan lobi-lobi keseimbangan dengan bernegosiasi ataupun meminta hak kepada sang penyedia sumber makanan, energi, serta sumber kekuatan lain. Dalam politik meskipun banyak ahli berusaha keras untuk menetapkan sebuah ukuran bahwa politik itu bisa menimbulkan hal-hal baik, demikian sebaliknya, saya memutuskan untuk beranggapan bahwa tetap tidak ada ukuran pasti bahwa politik akan menghasilkan hal-hal baik, belum tentu pula hal itu mutlak untuk menjalankan rencana-rencana busuk (meskipun hal terakhir ini memiliki persentase yang lebih besar).

Sebuah rezim berdiri sejak dia berhasil memenangkan kedudukan kekuasaan melalui jalur-jalur yang ditempuh melalui beragam mekanisme, baik itu mekanisme normatif maupun mekanisme “adat sesama pemain politik”. Tak bisa dipungkiri, selama Indonesia berjalan pasca Soekarno, hal demikian tetap lestari di setiap rezim, meskipun dengan selalu berganti gaya dan bahasa.

Untuk membelah bagaimana politik itu Netral ataukah Berpihak, digunakan 3 (tiga) aspek sebagai pisaunya. Pertama, dari aspek Keorganisasian. Dari sudut Politik Netral, terminologi politik ini seharusnya bisa diorganisasikan secara tepat, dimana fungsi negara menonjol untuk memenuhi kepentingan masyarakat luas.  Sedangkan sudut Politik Berpihak, politik akan terus berkembang dalam lingkaran golongan pemodal besar untuk kepentingan kapitalisme ekonomi dan perlahan berusaha merubah tatanan sosial budaya.

Kedua, dari aspek Filosofis. Dalam konteks Politik Netral, seharusnya politik dirancang untuk menata dan mempermudah langkah setiap elemen masyarakat dalam mencapai derajat kesejahteraannya. Namun dari konteks Politik Berpihak, politik ini sengaja diciptakan untuk mengokohkan dominasi sebuah golongan saja, yaitu para pemodal, tanpa peduli esensi capaian kesejahteraan masyarakat banyak.

Terakhir, Ketiga, dari aspek Kegiatan atau Aktivitas. Sudut pandang Politik Netral menghendaki seluruh aktivitas atau kegiatan politik merupakan kegiatan inovasi yang dapat bermanfaat untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang timbul di masyarakat. Sebaliknya, dari sudut pandang Politik Berpihak, aktivias politik yang menonjol, sesungguhnya adalah aktivitas pengembangan modal usaha para pemodal tersebut diatas, dalam gerak kapitalisme dari beragam tingkatannya. Untuk hal satu ini, sebagian besar masyarakat tidak sadar, karena dikemas dengan sampul yang menarik sehingga membuat terlena dan digambarkan bahwa sang pemimpin sedang bekerja. Masih banyak aspek yang dapat dianalisis lebih dalam, namun ketiga aspek tersebut secara garis besar dapat mewakili masyarakat yang didalam benaknya sedang gundah dalam menyikapi hiruk pikuk politik yang semakin santer terjadi.

Senang Sedih Rezim dan Media Jalan Bersama

Setiap rezim punya senjata yang bisa mengkondisikan apa yang rezim tersebut mau bagi negara ini. Senjata ini bisa dijinakkan, namun seringkali bisa berbalik dengan mudah menjinakkan rezim itu sendiri. Ya, senjata itulah yang terkenal dengan sebutan media. Media yang membesarkan, media yang menjatuhkan.

Banyak yang berpendapat, masyarakat harus melek politik. Masyarakat harus eksis dalam komentar-komentar soal politik. Boleh-boleh saja. Tidak ada yang melarang orang berkeinginan untuk duduk di jabatan-jabatan politik. Tidak ada paksaan bahwa orang-orang exact untuk tunduk dengan orang-orang sosial ketika beradu pandangan soal politik (asal orang-orang exact janganmengatakan politik itu adalah hal pasti, daripada nanti dibully). Sekali lagi boleh-boleh saja, asal dalam menyikapi setiap kegaduhan politik, setiap organ tubuh kita harus terlebih dahulu clear, harus arif sebelum terjun jauh beradu argumen hingga otot leher menebal.

Jutaan masyarakat Indonesia sejak lebih 2 (dua) dekade kebelakang terlibat adu fanatisme yang berujung rusaknya silaturahmi akibat dorongan keinginan untukeksis soal politik. Akhir-akhir ini pun hal tersebut terlihat sangat mencolok. Hati-hati, fanatisme anda merupakan fanatisme yang dibentuk melalui pandangan yang dicerna dari hujan opini yang diedarkan oleh media. Dari media setingkat blog hingga ternama pasti berlaku beragam versi tergantung kepentingan.  Banyak yang menelan mentah-mentah sebuah fanatisme buta hingga menjadi ideologi hidupnya, disamping agama yang dijalani. Dengan dipermudah akses media sosial sebagai tools/ papan pengumuman, banyak yang mengacungkan jari lalu berpendapat namun terlihat dangkal ketika ikut-ikutan ngomong soal politik.

Mereka ini adalah ciri khas orang yang tidak tahu lapangan. Tidak ikut andil di dalam pergolakan politik atau bahkan mengamati melalui riset independen (bukan riset pesanan) untuk mengetahuinya. Kitab suci politik orang-orang semacam ini dapat dipastikan hanya konstruksi pemikiran yang diopinikan oleh media. Media ini kepentingannya cuma bisnis bung! Media ini berjalan untuk bagaimana media itu ada dan terus menggaji karyawannya. Ibarat pisau bermata dua, satu sisi media dapat membuka pikiran masyarakat untuk mendapatkan update informasi, namun sisi lain sebagian besar informasi yang disampaikan tersebut bersifat destruktif bagi kemajuan pemikiran masyarakat itu sendiri.

Orang-orang semacam ini mau-mau saja diombang-ambingkan opininya, tergantung arah pasar yang potensial untuk digarap. Orang-orang ini masih saja mau diperlihatkan penonjolan sebuah figur demi sebuah perjalanan rezim. Perlu diingat, penonjolan figur ini adalah kamuflase untuk menggambarkan rezim yang sedang dijalankan. Bila diingat, rezim yang telah berjalan 2 (dua) periode kemarin menggambarkan hal tersebut. Kuat di figur, kosong tak berisi. Rezim sekarang tak berkembang dari sebelumnya, bahkan yang sekarang ini adalah hasil kloning terbaik dari dekade lalu.

Jadi, mari pemikiran kita kembali jernih, bahwa politik itu seberapa manfaat untuk kita gaduhkan. Pemain politik jelas memikirkan isi perutnya termasuk lauk pauk keluarganya. Seberapa besar kita (masyarakat) dipedulikan/dipikirkannya. Yakinlah, fanatisme buta tidak menghasilkan apa-apa. Sebuah rezim bersenjatakan media bisa merusak arifnya silaturahmi bahkan antar organ di tubuh kita sendiri. Semua keputusan ekonomi, hukum, sosial, budaya, termasuk pertahanan keamanan adalah keputusan politik. Porsi kita ini dipikirkan sangat kecil bahkan mustahil. Anggaran negara sudah hampir habis untuk membiayai makan dan hidup aparaturnya dan juga meladeni para tuan besar (asing) yang berkunjung untuk menyantuni negara ini.

Eksistensi aspek politik yang netral (yang peduli hidup warganya) seperti mustahil adanya. Politik berpihak akan terus lestari karena semua pemain politik dari tingkat akar rumput hingga pemimpin negara masih butuh makan, butuh pekerjaan, dan butuh masa depan untuk anak cucunya. Apa yang mereka tampilkan di media ini sesungguhnya hanya sebagian kecil dari jutaan permasalahan masyarakat di lapangan. Sebuah rezim akan terus memikirkan dirinya, menjaga hubungan koleganya, serta mengembalikan modal kepada partainya (tentu dari anggaran maupun pendapatan negara).

Barangkali, masyarakat yang benar-benar tidak mendalam soal politik disarankan untuk arif saja memikirkan hajat hidup pribadinya. Kebanyakan orang tidak sadar telah dan sedang dibohongi setiap rezim. Mau sefanatik apapun anda, wong juga tidak akan dapat sepeserpun dari sebuah rezim, baik itu segi kenyamanan dan kepuasan ataupun sisi materiilnya. Dari pucuk pimpinan hingga kroni-kroni pemain politik sudah kenyang perut yang asalnya dari para pemodal. Banyak yang tidak sadar jika banyak inovasi melalui kebijakan pembangunan itu merupakan kehendak pemodal kapitalis tersebut. Nampak (hanya nampaknya saja) tegas dihadapan rakyat, namun berjalan tertunduk mengusap kokohnya sepatu sang majikan, dimana bagian ini mengerikan jika ditampilkan di hadapan masyarakat. Ujung-ujungnya, karena mungkin sadar tidak bisa berbuat banyak untuk negeri ini akhirnya menelurkan sikap anti kritik, sebagai penutup kenistaan diri. Para pemimpin nampak sedang bekerja, namun bekerja untuk pemodal. Masyarakat pun sudah ge-er tertipu topeng politik keberpihakan yang dijalankan dengan rapi (menurut saya berantakan karena mudah terbaca) dari semua rezim.

Negeri ini negeri administratif bung! Semua yang penting bisa diresmikan, saat itulah pekerjaan dianggap selesai, sukses, dan membela rakyat. Apa yang bisa di legal formalkan, mari ditanda tangani. Entah controlling atau maintanance nya seperti apa, yang penting rakyat sudah bisa bersuara, “wah, hebat ya!”. Siapa yang banyak bicara dia pasti sedang punya kepentingan, agar tetap bisa makan dan kepentingan rohaninya terjaga. Seharusnya politik kembali pada basis filosofisnya, dimana politik harus berjalan netral bagi solusi permasalahan pemenuhan kesejahteraan masyarakatnya. Lalu, siapa berani menggugat kelestarian keberpihakan politik di negeri administratif yang minim hasil ini?

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun