Hitam dan Putih
Dewan
Dalam perjalanan menuju rumahmu, tak ada hal penting lainnya kecuali "kepastian" bahwa kita akan berjumpa untuk membicarakan problema Hidup yang kita sepakati bernama Cinta. Siapapun tahu bahwa dalam keadaan seperti ini perasaanku gembira bukan main. Juga, sudah kupersiapkan senyuman termanis dengan seluruh spontanitas untukmu semenjak permulaan.
Kau tahu? Perjumpaan kita adalah akibat dari pantulan cahaya dari Segala Sumber. Semburatannya saja menerangi jalan yang kulewati. Dan "lapisan yang kalah" yang memadati lalu lintas di banyak persimpangan jalan, tampak ingin membuktikan kekuatan yang masih sekedar potensi.
Tugas para pejuang untuk merubahnya sebagai energi kebangkitan. Kau dan aku siap untuk itu. Meskipun Kau tahu bahwa embel-embel apapun tidak akan layak menempel sebelum atau sesudah namaku jika itu bukan sesuatu yang "kurang".
Bukankah kebenaran dengan keyakinan penuh pasti mampu menghadapi apapun? Serpihan emas berani menghadapi batu besar karena ia tahu ia tak akan berubah nama. Emas tetaplah emas. Kita tidak punya alasan sedikitpun untuk takut jika bersamanya.
Jalan terang menuntunku. Roda di bawahku masih segar bugar menuju rumahmu dengan energi yang senantiasa termudakan. Kau pernah dengan begitu yakin mengatakan "Hidup haruslah bermakna meskipun dalam kesempitan tak terperi. Dengan itulah berbagai tempaan berat -atau yang di mata orang menyakitkan- menjadi tidak ada artinya apa-apa, kecuali keindahan".
Cukup lama untuk memahaminya dan aku sempat menganggapmu sedang berkhayal ketika itu. Kini kusadari, mungin karena itulah kau lebih suka dan memaksaku untuk menyepakati Cinta daripada Hidup, sejajar dengan Keindahan.
Orang yang sedang kasmaran dimabuk cinta akan melihat dunia dengan matanya sendiri yang tentunya berbeda dengan mata yang tak pernah mengalaminya. Kita hanya berharap bahwa ia berawal dari kemurnian dan melepaskannya dari kebutaan. Memberinya kekuatan memisahkan kebenaran dari kekeliruan dan kebaikan dari keburukan. Tak muluk, apa adanya. Cinta itu kesederhanaan sekaligus kesempurnaan. Atau, entahlah. Kemampuanku hanya menerjemahkannya sampai di situ.
Hei, rumahmu ternyata jauh. Aku belum juga sampai padahal rumahmu yang terang benderang membukakan mata hatiku sehingga mampu melihatnya. Aroma kamper dari rumahmu tercium bahkan oleh hidung yang tersumpal banyak kekotoran ini. Aku yakin, rasa kedekatan bukanlah tipuan.
Aku tahu, masih ada selubung yang sedikit demi sedikit akan runtuh bersamaan dengan pengabdian dan pengorbanan tapi belum kulakukan sepenuhnya. Kukatakan padamu "Cinta yang kumiliki belumlah sempurna".