Mohon tunggu...
dewan -
dewan - Mohon Tunggu... -

Tinggal di Medan

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Milikku Hanya Ketakutan, Tidak Ada yang Lain

20 Agustus 2010   19:28 Diperbarui: 26 Juni 2015   13:51 44
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Milikku Hanya Ketakutan, Tidak Ada Yang Lain

Dewan

Aku tak sedang ingin berpikir berat. Aku tak sedang iseng. Aku sedang menulis sesuatu yang tak biasanya. Dengan segala keringanan yang juga tak biasanya. Kurasa, buah mangga tak harus ditunggu sampai matang di pohon agar bisa dijual di pajak Mahkamah, pajak Halat, pajak Sukaramai, pajak Sambu, pajak Brastagi, pajak Kaban Jahe atau di tempat lainnya. Petiklah secukupnya dan biarkan matang di ruang sidang perdebatan. Gambaran dasarnya adalah akar pohon sudah menghisap sari bumi untuk merimbunkan daunnya dan mengokohkan batang tubuhnya karena itu ia menghadiahkan buah yang terbaik untuk dunia. Kapan lagi?

Buah mangga adalah kalimat yang akan matang dengan caranya sendiri. J.D, dengan rambut putihnya bisa saja mengasah pisaunya untuk merajang kalimat mulai dari kata, suku kata atau mungkin hurufnya dan menunjukkan kepada siuapapun yang membaca bahwa tulisan ini tidak ada maknanya sama sekali, mungkin juga pisaunya yang akan menjadi tumpul dan rumus rajangannya mesti direvisi.

Tetapi seorang bijak berkata : "kalau bukan karena keputusanNya untuk menghukum para pendosa, niscaya neraka akan dijadikan sejuk dan damai". Lalu, Para Pembunuh berkhotbah : "tidak ada sedikitpun hukum layak dibebankan atas manusia kecuali ia berasal dari manusia juga".

Aku bertanya sekaligus mencemooh kepada Para Pembunuh dan pemilik kepala yang berisi pemikiran culas dan yang terpesona oleh bahasanya yang meyakinkan, bak daun selada di hidangan main course. Tahukah dedaunan di pohon tembesi yang mengering tentang pertanyaanku? Inilah : "bagaimana bisa mereka membunuh -bahkan seekor nyamuk yang tak bisa terbang lagi karena terlalu banyak menghisap darah- sedangkan dengan sendirinya mereka sudah terbunuh oleh 'kerja kerasnya' dalam berpikir?"

Lelucon peradaban telah lahir. Aku tak terpancing untuk tertawa meskipun selain yang sependapat denganku tertawa terbahak-bahak sambil mencabuti bulu hidungnya. Aku tak terpengaruh ataupun tersinggung karenanya. Biasa saja. Masih terasa rata dan datar saja semuanya.

Seperti yang sudah kukatakan di awal tadi, aku tak sedang ingin berpikir berat. Biarkan untuk sejenak melayang dengan segala keringanan yang tak pernah terasa sebelumnya. Aku ingin bebas dan merdeka dari ketergantungan informasi yang sudah direkayasa. Dan yang sedikit tempatnya di dalam hati dan akal yang belum tercemar oleh polusi budaya.

Tidak percaya? Tanyakan kepada fenomena sosial yang terbentuk dengan massal (bukan dengan sendirinya). Mereka tidak akan menjawab seperti yang Anda inginkan. Kenapa? Karena belum apa-apa Anda sudah menolaknya ataupun meragukan asumsi serampangan ini.

Langkahku terseok-seok meniti formulasi 'menjadi manusia' dan sang Revolusioner malah tersenyum tanpa bermaksud buruk. Matanya tajam menggugah. Kemampuanku hanya melolong : "akulah cacing yang kelabakan terbakar di bawah sinar matahari". Tak kupahami ketika sesedunya membuatku merinding "Aku hanyalah debu di kuku kaki kudanya...". Kulemparkan tali agar tersangkut oleh cahaya yang mengangkat kalimat itu ke atas dan aku bisa bergelantungan bersamanya. Menaik dari bumi menembus langit.

Jika dia adalah debu, lantas apalah diriku? Tak ada kepercayaan diri untuk menanyakannya. Tentunya diri ini sesuatu yang jauh lebih kecil dari debu dan tentunya hina. Bukan sesuatu yang indah tentang diri ini. Mungkin yang lebih tepat adalah "Adakah diri ini?". Pasti dan pasti tidak dengan hanya 'berpikir' untuk merasa ada. Dengan ketakutan dan gemetar kusimpulkan : "Aku bahkan bukanlah bayangan bagi bayang-bayang".

Setiap titik adalah tetesan air yang cipratannya adalah keberlimpahan makna yang tak akan berubah menjadi murka meski tingkahku dekat dengan kecerobohan. CintaNya selalu mendahului amarahNya. Setiap detik adalah pertanda yang tak mudah kupahami dengan segala keterbatasan yang ada. Khayalanku lebih dulu kehabisan tenaga sebelum sampai di tempat yang kukehendaki.

Jadikanlah aku! Jadikanlah aku! Jadikanlah aku dengan keputusan yang menentukan bentukku. Setelah kumpulan kerikil bercampur dengan semen dan pasir. Seandainya aku memiliki sesuatu yang berharga, itu adalah satu-satunya. Sesuatu itu barangkali lebih halus daripada sebutir pasir. Hanya iulah dan tiada yang lainnya. Kusodorkan dengan rasa malu yang tiada tara ketika sesuatu itu remuk redam. Mau bagaimana lagi.

Aku tak ingin bernafas. Kalaupun bernafas, itu kulakukan dengan sangat berhati-hati. Itupun sesekali. Tentu Kau tahu kenapa. Aku takut sesuatu itu akan berterbangan oleh hembusan angin yang keluar dari hidungku. Ia mudah terhempas oleh udara yang bergerak sangat pelan. Ia kugenggam. Kukatupkan jari tanganku supaya ia tak lepas.

Ketika sesekali aku berhenti di suatu tempat, kucoba melihat lagi apa yang ada dalam genggamanku. Sungguh mataku tak melihat apapun kecuali telapak tanganku yang berkeringat. Bintik-bintiknya berkilatan dan dan jantungku berdegup lebih kencang. Tak bisa kuatur nafasku lebih baik. Sesuatu itu hilang!!

Kepada siapa aku bertanya? Dimana sesuatu itu menghilang? Hanya bintik-bintik keringat di telapak tangan. Aku jadi ragu. Apakah yang kumiliki? Adakah sesuatu itu? Adakah yang menghilang? Bukankah tidak mungkin sesuatu itu menghilang jika sesuatu itu tidak pernah ada? Atau hanya bintik-bintik itu yang kumiliki? Aku semakin ragu. Apakah bintik-bintik itu bisa menempel pada partikel-partikel yang lebih halus dan ringan daripada sebutir pasir tadi padahal dengan itulah aku mungkin akan terbentuk?

Dan aku terhempas oleh sesuatu yang lain. Adalah keputusanMu yang menentukan dimana aku akan terjatuh. Aku ketakutan. Mungkin ketakutanlah yang kumiliki, tak ada yang lain. Mungkin. Siapa yang memberikan ketakutan itu? Dari mana asal ketakutan itu kalau bukan dari Yang Memiliki? Apakah ketakutan itu beralasan sebelum ditemukannya identitas? J.D, belepotan aku jadinya.

Tapi, jadikanlah aku! Jadikanlah aku! Jadikanlah aku sesuatu yang layak melakukan sesuatu untuk mempersiapkan kedatangannya yang dinantikan Para Pemilik Cinta Abadi. Jadikan aku sesuatu yang bisa menambal kantong air yang terkoyak ditembus anak panah para pendosa. Jadikan aku selembar kain -atau sehelai benang rapuh di dalamnya juga tak apa- yang lebih dulu robek dan putus sebelum pedang terkutuk menyentuh kulitnya. Atau, jadikan aku sebagian darinya, di mana saja, yang ikut terluka dan terpotong-potong demi menolak kehinaan!!

Jika itupun tak memungkinkan aku menjadi sesuatupun, dengan ketiadaan kepemilikan, aku bermohon padaMu, jadikan aku manusia yang kau pilihkan tempatnya bersama para pengikutMu.

SatuDewan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun