Mohon tunggu...
Darius Tri Sutrisno
Darius Tri Sutrisno Mohon Tunggu... Pramusaji - Penjaga warung kopi samiroto

Sadar belum tentu obyektif ;)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Senja Itu Sudah Mati

20 Juni 2019   17:11 Diperbarui: 20 Juni 2019   17:28 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Photo by  Pixabay.com

Sebuah kursi menancap di tepian danau, di kawasan pemukiman penduduk, dikelilingi oleh lebatnya hutan pinus. Jika angin sedang ribut hutan pinus seakan berbisik padamu. Memberi kesan bahwa dirinya begitu hidup.

Bagaimana wujud kursi tak bisa digambarkan dengan kata-kata menawan. Sepanjang tepi danau hanya kursi itu satu-satunya kursi. Penduduk tidak menahu tentang kapan dan siapa yang meletakan kursi itu. Sepengetahuan sesepuh desa, kursi itu sudah ada sebelum ia lahir. Ini isyarat bahwa kursi itu tak berpunya atau berasal.

Danau damai itu diam. Sediam ikan-ikan di dalamnya. Tapi danau itu hebat. Dia hanya diam saja---tidak ribut atau sembarangan memercikan air ke sekelilingnya. Danau itu tak berwarna karena kebeningan sudah menjadi warna dasar yang alamiah. Jadi hanya bening, sampai-sampai orang dapat leluasa memperhatikan makhluk hidup di dalamnya.

Kala memasuki sore hari danau itu berubah warna menjadi merah. Jika pagi hari berlainan, ia menjadi bercahaya jingga. Berbeda di malam hari: mencekam.

Seringkali kursi itu tidak sendiri. Ia bersama seseorang. Seseorang yang membunuh waktunya berdiam diri menatap danau.

Tidak jauh dari danau berdiri satu rumah seorang pria usia lanjut. Usianya tujuh puluh tiga tahun lebih dua bulan. Ia sebatang kara. Rumah pria ini hanya sejauh seratus langka dari kursi. Pria ini adalah seseorang yang setia menduduki kursi. Setiap hari minggu ia duduk memandangi danau yang berubah warna setiap saat.

Matahari mulai menurun perlahan. Siang telah akan pergi. Pria tua itu mengelilingi rumah mencari lilin dan korek api. Berjaga-jaga jika kebetulan ia harus di tepi danau hingga malam. Semua sudah siap tanpa terkecuali roti, air minum serta pena dan selembar kertas. Ia pun menutup pintu dan menguncinya. Dengan badan bungkuk ia berjalan pergi menjauh dari rumah.

Setelah ia menaruh separuh badanya di atas kursi, seperti biasa ia merapikan semua barang bawaan tepat disebelah kanannya: roti, air minum, lilin, korek api serta pena dan selembar kertas. Ia memulai renungannya dalam diam. Memperhatikan sekelilingnya yang sunyi dan memerah. Memotong sedikit roti untuk makan malam. Meminum separuh air minum. Tapi ia kembali larut dalam suasana diam.

Senja itu telah tiba. Membuat pembeda yang begitu kentara bagi pria tua. Ia mengambil penanya, menggegamnya sedemikian kuat. Raut wajahnya berubah seakan bersiap untuk sesuatu, seperti seorang jenderal perang dunia yang siap menembak apa saja yang ada di depannya.

"Aku sudah siap. Tapi tidak untuk meratap di bawah naunganmu. Semua orang mengandaikanmu sebagai yang terindah dari yang lain---hebatnya, tidak bagiku." Pria tua itu berbicara dengan cukup bengis pada keindahan senja.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun