Kancing baju sengaja di buka beberapa agar angin alam dapat hinggap walau sejenak. Gesekan angin pada kulit di siang hari yang panas memang selayaknya kekasih yang meredamkan amarah. Tipis rasanya menggesek-gesek kulit. Sangat nikmat dipenghabisan rokok itu.
"Terima kasih Bu. Masukan saja di catatan. Seminggu lagi aku lunasi."
Apa tenaga sudah terisi penuh? Bagaimana menjelaskan nasi Bu Yumi adalah suplemen pembangkit daya kerja? Apakah cukup jika melihat sisa waktu bekerja masih empat jam lagi dengan produksi yang melebihi daya upaya seorang pekerja? Hanya satu jawaban: tidak cukup. Perusahaan selalu mendapat lebih banyak.
Setelah memasang perlengkapan kerja, si bujang melanjutkan tugasnya. Dilihatnya jarum pendek jam berputar ke kiri lagi dan lagi. Berharap semua derita ini secepatnya usai.
"Tinnngtinngtinngtinngtingg..." "Lega mendengarnya.", kata Si Bujang dengan senyum ramah pada kawan sebelahnya.
Toliet penuh sesak oleh para pekerja yang ingin membasuh badan. Mengelap keringat agar tidak masuk angin. Menggosok-gosok tangan dan kaki. Mencuci muka dengan sabun kecantikan.
Sebentar lagi maghrib. Semua tergopoh untuk pulang kerumah, kontrakan atau menuju kos-kosan seperti Si Bujang.
Menaiki bis kota menyusuri jalanan yang mudah ditebak arus lalu lintasnya. Macet, macet dan macet. Bis tidak terlalu rame. Banyak kursi yang lowong. Sang kernet berada dibelakang bersandar pada tiang pegangan dengan membolak-balik uang pecahan dua ribuan. Sesekali dia berteriak pada karyawan karyawati di pinggir jalan. "Terminal, terminal, ayo terminal , terakhir mbak!"
Naiklah seorang karyawati dan duduk tepat di belakang supir. Dari gayanya, dia seperti pegawai perbankan. Memakai rok mini dan berjaket tipis. Di lengan sebelah kiri menjinjing sebuah tas berisikan sepatu high heels. Perawakannya lumayan---nyata bukan orang pabrikan.
Badan Si Bujang bau keringat meski telah dilap dengan air kran. Seragam biru itu setengah basah dari air bercampur keringat. Dia sejenak memejamkan mata. Akan tetapi lampu kuning kota mendominasi dari kanan maupun kiri. Sekejap demi sekejap menembus kelopak mata hingga sang kernet berteriak "terminal, terminal, ayoo terminal!"
"Apa mampir dulu ya untuk minum kopi. Tapi badan rasanya remuk. Ah langsung saja ke kos."