Revolusi industri merupakan masa transisi sejarah umat manusia menuju pesatnya penggunaan teknologi sebagai alat bantu bekerja. Masa tersebut dimulai dengan pengenalan teknologi mesin uap, pembangunan pabrik, dan mekanisasi produksi tekstil. Lompatan perkembangan ini merubah sebagian besar ekonomi agraris-tradisional menjadi ekonomi industri yang didasarkan pada produksi massal yang memiliki tingkat produktivitas yang sangat tinggi.[1] Sampai  pada hari ini, revolusi memasuki gelombang keempat meliputi internet of things sampai pada kecerdasan buatan artificial intelligence. Masa revolusi industry tersebut memang menghasilkan dampak yang luar biasa besar dalam mode produksinya yang eksponensional karena dengan bantuin mesin-mesin yang dapat bekerja secara cepat dan akurat.Â
Â
Secara etimologis, teknologi memiliki arti keahlian dalam pengetahuan yang berjewantahkan alat-alat teknis yang mampu meningkatkan produktivitas kerja manusia. Sesuai pandangan tersebut, maka kehidupan manusia seharusnya semakin makmur dengan bantuan teknologi yang berkembang pesat. Namun, disisi lain terdapat suatu kondisi yang berbarengan dengan munculnya revolusi industry tersebut, yaitu global warming yang terjadi secara non-natural. Global warming ditandai dengan beberapa bencana seperti: 1)meningkatnya permukaan air laut dikarenakan mencairnya es di kedua kutub utara dan selatan; 2)peningkatan suhu rata-rata; dan 3)polusi udara pekat hingga mengubah warna udara.[2]
Â
Global warming tersebut menjadi salah satu masalah yang paling urgensi karena menyangkut seluruh kehidupan makhluk hidup termasuk manusia di Bumi. Pemanasan global bahkan menggugah kesadaran pemerintah di setiap negara untuk mengambil sikap dan tindakan terhadap masalah tersebut. Dikutip dari laman resmi World Environment Day, Konferensi Stokcholm tahun 1972 merupakan pertemuan tingkat tinggi pertama di dunia yang fokus pada pembahasan isu lingkungan. Konferensi ini menjadi konsensus negara-negara di dunia dalam memperhatikan isu lingkungan.
Â
Konferensi Stockholm tidak berhenti disitu, tetapi ada tindak lanjut yang menghasilkan Stockhom Document yang mencantumkan prinsip-prinsip dan rekomendasi untuk perlindungan lingkungan dan menjadi titik awal bagi pembentukan badan PBB yang disebut Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP). Selain itu, terdapat pula yang dalam satu dekade kebelakang seperti Perjanjian Iklim Praris (Paris Agreement). Konsensus tersebut selain dalam bentuk organisasi internasional, namun juga memiliki pengaruh terhadap upaya ratifikasi hukum di suatu negara.
Â
Dilansir dari laman Perserikatan Bangsa-Bangsa, setidaknya terdapat enam isu yang diangkat dan ditetapkan pada Paris Agreement, yaitu:
Â
- Pembatasan Suhu Global
- Â
- Membatasi peningkatan suhu global dengan tindakan konkret mengurangi emisi gas rumah kaca yang menjadi penyumbang utama pemanasan global;
- Â
- Nationally Determined Contributions (NDCs)
- Â
- Negara yang tergabung dalam konsesus ini menetapkan sendiri target pengurangan emisi mereka menyesuaikan dengan kondisi sosial-politik kontemporer dan ekonomi;
- Â
- Transparansi dan Akuntabilitas
- Â
- Penekanan terhadap keterbukaan progress report usaha melaksanakan perjanjian yang telah tertuang bagi negara yang saling bekerjasama;
- Â
- Dukungan Keuangan
- Â
- Bantuan finansial diperlukan antar negara untuk melakukan upaya penurunan emisi gas dan transformasi energi karena tidak semua negara mampu melaksanakan tujaun secara langsung;
- Â
- Peninjauan Periodik
- Â
- Untuk memastikan bahwa negara yang tergabung dalam konsensus bersama telah melaksanakan upaya penurunan emisi melalui pemantauan periodik;
- Â
- Ratifikasi dan Implementasi
- Â
- Perjanjian Paris diberlakukan pada tanggal 4 November 2016 dan setelah itu masing-masing negara mempersiapkan ratifikasi hukum untuk memasukan peraturan terakit upaya melaksanakan kebijakan lingkungan.
- Â
- Â
- Â Â Â Â Â Â Sebelum adanya konsensus Paris Agreement, sebetulnya DPR RI sudah mengesahkan UU PPLH (Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup) yang mengatur tentang pencegahan pencemaran dan kerusakan, penyelenggaraan evaluasi dampak lingkungan, pendanaan dan insentif lingkungan, keterlibatan masyarakat dan kerja sama internasional. Dengan adanya Undang-Undang tersebut maka pemerintah wajib melaksanakan ketentuan yang tertuang di dalamnya. Namun, implementasi Undang-Undang tersebut belum sepenuhnya terlaksana mengingat fakta di lapangan masih banyak kejadian yang justru bertolak belakang dengan isi ketentuan Undang-Undang.
- Â
- Â Â Â Â Â Â Kasus tentang pencegahan dan pencemaran masih banyak terjadi praktik pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh pabrik membuang limbah sembarang plus tidak dikelola terlebih dahulu. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan, sebanyak 66.636 desa/kelurahan di Indonesia memiliki sungai. Dari jumlah itu, 16.487 desa/kelurahan memiliki sungai yang tercemar limbah.[3] Yayasan Konservasi dan Lahan Basah melalui direkturnya pernah memberikan somasi kepada Gubernur Jawa Timur, Gubernur Jawa Tengah, dan Gubernur Jawa Barat atas krisis pencemaran air sungai.[4] Somasi tersebut dilayangkan karena Yayasan tersebut menilai ketidakseriusan Gubernur untuk memperhatikan masalah pencemaran di sungai-sungai yang berada di Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Jawa Barat.
Â