Sampai pada sesi tanya jawab, tak disangka-sangka para siswa yang berjumlah 70 orang tersebut sangat antusias ingin bertanya pada pemateri. Sampai-sampai moderator kewalahan memilih. Dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan tersebut, sekali lagi pejabat kejaksaan mengungkapkan, jika pertanyaan para anak-anak SMA ini sudah selevel pertanyaan aktivis HAM dan para mahasiswa hukum. "Pertanyaannya berat-berat!", demikian ungkapnya.
Bagi saya pribadi, yang cukup menarik adalah pertanyaan siswa terkait Kasus Munir. Awalnya siswa bertanya terkait bagaimana penyelesaian Kasus Munir hingga saat ini. Tentu jawaban kejaksaan normatif, berdasarkan fakta dan keputusan persidangan, yang telah memutuskan para terpidananya, seperti nama Polycarpus dan Muchdi PR. Lantas pihak kejaksaan mengatakan jika pembunuhan Munir tersebut hanya peristiwa pidana umum, alias pembunuhan seperti pembunuhan-pembunuhan lainnya. Beliau pun mencontohkan kasus pembunuhan Mirna oleh temannya Jessica.
Nah, mendengar pernyataan seperti itu, sontak seorang siswi bernama Nurtasya mengangkat tangan menginterupsi pernyataan pihak kejaksaan. Saya melihatnya agak "emosional" menyampaikan argumentasinya. Kurang lebih Nur mengatakan, "Maaf Pak, saya kurang sependapat dengan pernyataan Bapak, jika pembunuhan Munir itu adalah tindak pidana biasa atau pembunuhan saja. Karena sampai sekarang pemerintah terus diminta untuk menyampaikan secara terbuka hasil TPF Munir, tuntutan dari masyarakat, para aktivis HAM, agar kasus Munir ini dibuka sejujur-jujurnya ke muka publik. Apakah ada keterlibatan negara di sini. Menurut saya, pembunuhan Munir ini adalah kasus pelanggaran HAM berat, sesuai UU No 26 Tahun 2000, yakni masuk kategori "kejahatan terhadap kemanusiaan."
Cukup panjang uraian dan "protes" siswa yang bertubuh jangkung tersebut, terkait Kasus Munir ini. Karena baginya, sosok Munir adalah seorang pejuang HAM yang inspiratif, tapi dengan mudahnya, nyawanya dihilangkan karena selalu mengkampanyekan nilai-nilai universal HAM di Indonesia, dan selalu kritis kepada pemerintah saat itu.
Jadi ada prasyarat serangan "meluas" dan "sistematis". Apakah pembunuhan Munir dilakukan berupa serangan yang meluas dan sistematis? Dan uraian lainnya yang cukup panjang. Pada intinya Kasus Munir ini adalah pidana umum, pembunuhan yang terpidananya dikenai dengan pasal pembunuhan di KUHP, bukan dijerat oleh UU HAM dan UU Pengadilan HAM. Ringkasnya demikian yang bisa saya cerna, atas penjelasan kejaksaan tadi.
Pembelajaran HAM mata pelajaran PPKn, Kamis pagi itu sangat meriah dan berkesan bagi para siswa. Banyak siswa yang "kecewa" dengan jawaban-jawaban pihak kejaksaan, khususnya terkait Kasus Munir dan terkait Kasus Marsinah (yang tidak saya jelaskan di sini). Tapi ada juga siswa yang santai-santai saja, mungkin karena tak paham apa yang sedang didiskusikan oleh teman-temannya.
Ada juga siswa yang "senang-senang" saja, mungkin karena berkesempatan keluar kelas (outing class) pada hari itu, tidak belajar formal di sekolah. Semuanya punya kesan yang berbeda-beda. Walaupun mereka tidak merasa puas dengan jawaban kejaksaan, tapi toh akhirnya beberapa siswa itu mengajak para pejabat kejaksaan untuk berfoto bersama, bahkan denga wajah ceria ada yang melakukan selfie dengan pejabat kejaksaan.
Terpenting bagi saya sebagai pendidik adalah, nilai-nilai yang bisa diambil dari pembelajaran HAM di luar kelas kali ini. Bahwa negara dan bangsa kita masih menyimpan setumpuk cerita dan peristiwa sejarah masa lalu yang masih "gelap", khususnya terkait kasus-kasus pelanggaran HAM berat. Sebagai bangsa yang besar, apakah kita akan terus menoleh ke belakang dengan mengatakan, "kami akan memaafkan", tetapi "kami tidak melupakan". Seperti ucapan Nelson Mandela yang mahsyur itu. Atau memilih lupakan masa lalu, cukup menjadi catatan sejarah, kita tatap masa depan Indonesia.
Atau memilih terus berjuang di jalan "sunyi", seperti yang Ibu Suciwati dan para peserta "Aksi Kamisan" di depan Istana Negara lakukan, untuk terus menyuarakan hak-hak asasi korban, yang hingga kini belum kunjung diakui negara.
Atau duduk bersama secara dewasa sebagai sebuah bangsa bermartabat, mengakui kita pernah khilaf dan salah, lantas bergandengaan tangan, bersama menatap masa depan bangsa yang lebih gemilang. Siapa yang bisa menjawab tugas berat sejarah bangsa di atas? Jawabannya adalah, "Mereka, para siswa yang bertanya kritis, yang santai-santai saja dan yang ber-selfie ria di atas!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H