Terkait olah rasa & karsa, benar yang disampaikan Tan Malaka (1897-1949) bahwa pendidikan itu bertujuan "untuk mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan." Saling menghargai, toleran, peduli lingkungan dan sesama, gotong-royong, adalah beberapa karakter yang wajib dimunculkan dalam suasana pembelajaran di sekolah. Pendekatan pembelajaran berkelompok bisa menjadi solusi. Dengan mendisain pembelajaran model cooperative learning misalnya. Yang menekankan pada sikap atau perilaku bersama dalam bekerja/membantu di antara sesama, dalam struktur kerjasama yang teratur dalam sebuah kelompok.
Iklim pembelajaran di sekolah selama ini, agaknya lebih berorientasi kepada kompetisi, bukan kepada kolaborasi. Padahal merujuk Finlandia dan Singapura, suasana pembelajaran di sana, mampu membentuk atmosfir solidaritas siswa ketimbang individualitas. Ini yang langka dalam persekolahan kita sekarang. Tidak heran siswa berlomba-lomba mengejar nilai individu setinggi-tingginya. Tetapi alpa dalam menciptakan kolaborasi yang menunjang proses dan keberhasilan bersama.
Terakhir yaitu olah hati, pendidikan di sekolah haruslah memupuk nilai keimanan, nilai moral dan nilai kejujuran. Bagi seorang Romo Nicolaus Driyarkara (1913-1967), tujuan pendidikan yaitu untuk memanusiakan manusia (humanisasi), bisa dicapai dengan menanamkan nilai-nilai kehidupan. Dua (2) nilai paling utama baginya adalah nilai keagamaan dan nilai moral, seperti yang dituliskan dengan sangat kompleks dalam buku"Karya Lengkap Driyarkara, Esai-Esai Filsafat Pemikir yang Terlibat Penuh dalam Perjuangan Bangsanya" (A. Sudiarja, SJ, dkk, 2006).
Agama dan moral tak bisa dipisahkan, sebab kesempurnaan manusia sebagai makhluk Tuhan, tidak mungkin terwujud andaikan manusia itu tidak memenuhi kewajiban moralnya sebagai seorang warga negara, taat hukum, cinta tanah air yang menjaga martabat kemanusiaannya. Manusia akan sempurna (insan kamil-dalam istilah Islam), jika diukur dari perangai yang dia perbuat.
Memupuk nilai moral dan keimanan (keagamaan) di sekolah melalui pendekatan inklusif, bukan eksklusif, membangun jembatan dialog, bukan dinding pemisah, menyemai ruang-ruang kebenaran, bukan memonopoli kebenaran itu sendiri. Jika guru sudah mampu memahami semua ini secara komprehensif, saya yakin, intoleransi, benih permusuhan dan radikalisme tidak akan mampu menyentuh ruang batin dan otak anak didik kita.
Dengan syarat mutlaknya, guru harus berani dan kreatif menerjemahkan 4 filosofi pendidikan Ki Hadjar Dewantara tersebut, ke dalam perencanaan, proses pembelajaran dan berbagai aktivitas sekolah. Dalam rangka mendidik dan membimbing generasi muda Indonesia ke depan. Sehingga pendidikan nasional kita tidak jauh dari jiwa Pancasila dan UUD 1945. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H