“Saya melihat urgensi mendesak rehabilitasi dan rejuvenasi Pancasila... Rejuvenasi Pancasila dapat dimulai dengan menjadikan Pancasila kembali sebagaipublic discourse, wacana publik. Dengan menjadi wacana publik, sekaligus dapat dilakukanreassessment, penilaian kembali atas pemaknaan Pancasila selama ini, untuk kemudian menghasilkan pemikiran dan pemaknaan baru. Dengan demikian, menjadikan Pancasila sebagai wacana publik merupakan tahap awal krusial untuk pengembangan kembali Pancasila sebagai ideologi terbuka, yang dapat dimaknai secara terus menerus, sehingga tetap relevan dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia.” (Azra, 2008 selanjutnya dapat lihat dihttp://www.setneg.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1659)
Merujuk kepada pemaparan Azra tersebut, saya memaknai jika pemerintah semenjak SBY-JK sampai pada Jokowi-JK saat ini, telah berhasil menjadikan Pancasila sebagai wacana publik, orang ramai-ramai mengatakan rindu Pancasila, ketika terjadi aksi-aksi kekerasan, intoleransi, radikalisme atau penggusuran pemukiman kumuh dan sejenisnya, masyarakat berharap Pancasila hadir di tengah-tengah kehidupan.
Munculnya hastag #SayaPancasila seperti yang hari ini trend di media sosial, adalah salah satu bukti nyata. Pancasila sudah menjadi milik publik saat ini. Pancasila tidak lagi diidentikan dengan Orde Baru. Benang merahnya yaitu prasyarat rejuvenasi Pancasila sebagai fase awal yang diutarakan Azra tersebut sudah terpenuhi.
Lahirnya UKP-PIP
Kedua adalah untuk menjawab soalan paling fundamental sekaligus tantangan, bagaimana strategi kita sebagai sebuah nation state mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam laku lampah sehari-hari oleh masyarakat dan berupa kebijakan negara yang selalu bernafaskan jiwa Pancasila itu, justru inilah yang mendesak dijawab dan dicarikan jalan keluarnya.
Untuk itulah saya berpikir bahwa, ditantandatanganinya Peraturan Presiden No 54 Tahun 2017 tentang Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila (UKP-PIP), menjadi ikhtiar pemerintah menjawab tantangan di atas.
Momentum selebrasi hari lahir Pancasila 1 Juni 2017 ini menjadi sudah semestinya (jika tak dikatakan terlambat), untuk merekonseptualisasi, revitalisasi dan reaktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam tiap etos di pemerintahan dan masyarakat umum. Sehingga Pancasila tidak hanya menjadi konsumsi elitis pemerintah, atau perkakas untuk aktivitas kampanye, tetapi Pancasila (melalui UKP-PIP) ini mampu menghadirkan energi pathos yang menarik antara pemerintah dan rakyat banyak, sehingga rakyat Indonesia merasa memiliki Pancasila ini.
Diferensiasi Strategi dan Keunggulan Kompetitif UKP-PIP
Persoalan kemudian yang mungkin timbul adalah, bagaimana UKP-PIP yang merupakan lembaga non-struktural yang bekerja dan berada langsung di bawah Presiden ini, mampu meyakinkan seluruh komponen masyarakat, jika lembaga baru ini tidak 100% meniru dan merepetisi apa yang sudah dikerjakan oleh Orde Baru melalui BP-7 (Badan Pembinaan Pendidikan Pelaksanaan Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila) dengan Penataran P-4 yang terkenal indoktrinatif.
Seperti yang dikatakan oleh Azyumardi Azra (Azra, 2008), bahwa Pancasila terlanjur tercemar karena kebijakan rejim Soeharto yang menjadikan Pancasila sebagai alat politik untuk mempertahankan status-quo kekuasaannya. Rejim Soeharto juga mendominasi pemaknaan Pancasila yang selanjutnya diindoktrinasikan secara paksa melalui Penataran P4.
Agar ikhtiar UKP-PIP ini tidak sekedar mengulangi sejarah Orde Baru, baik dari konsep, strategi maupun metode yang dipakai dalam rangka pembinaan dan aktualisasi nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan berbangsa bernegara, mesti ada diferensiasi strategi dan semacam keunggulan kompetitif (competitive advantages) UKP-PIP atas BP-7 dan model Penataran P-4 tersebut.