Ketiga, disain pembelajaran yang dikonstruksi oleh guru. Pembelajaran di sekolah merupakan interaksi edukatif antara peserta didik (siswa) dengan guru dan sumber belajar lainnya, yang dilakukan secara timbal-balik dan bermakna (meaningful learning). Pola interaksi yang terjalin antara siswa dengan guru bukanlah interaksi yang mengedepankan prinsip “belajar” dan “mengajar”, guru aktif mengajar-siswa pasif belajar, guru berceramah-siswa mendengarkan, guru tahu-siswa tidak tahu, guru selalu benar-siswa salah, guru superior-siswa inferior, guru memilih dan memaksakan pilihannya-siswa menuruti, guru bertindak-siswa membayangkan bagaimana bertindak sesuai dengan tindakan gurunya, guru adalah subyek proses belajar-siswa adalah obyeknya dan guru satu-satunya sumber belajar. Inilah prinsip pembelajaran yang oleh Paulo Freire (1987) dikatakan sebagai “banking concept of education” atau pendidikan gaya bank.
Pendidikan gaya bank ini akan memasung imajinasi dan kreativitas siswa. Usia yang secara psikologis menyimpan rasa keingintahuan sangat tinggi, mesti dijawab dengan suasanan pembelajaran yang aktif, kreatif, imajinatif dan menyenangkan. Pembelajaran yang tidak mendikte mimpi, tetapi membangun dan merealisasikan mimpi. Pembelajaran yang mengundang atau menstimulus ketertarikan dan totalitas siswa. Inilah yang oleh pakar pendidikan Conny R. Semiawan disebut “pembelajaran yang mengundang”.
Berbagai macam kekerasan di sekolah, lahir dari suasana pembelajaran yang membosankan, mendikte, mengungkung kreasi dan imajinasi siswa. Seperti yang dikatakan HOS Tjokroaminoto, “Mendidik itu memupuk serta mengembangkan pemikiran dan potensi murid, bukan menanamkan pemikiran dan kemauan guru.” Sehingga siswa merasa tak diberikan kebebasan berkarya dan berbuat. Agresivitas di usia remaja akhir tadi mesti disalurkan kepada hal-hal yang membangun, dan dimaknai secara positif bagi perkembangan kognitif, emosional, sosial dan spiritual siswa. Pembelajaran yang memberikan tantangan kreativitas. Guru harus mampu menjawab dan menghadirkan pembelajaran yang mengundang tersebut, agar kekerasan model apapun tidak terjadi lagi di sekolah kita.
Maka sudah seharusnya kita mengingat kembali yang dikatakan Ki Hadjar Dewantara, baginya tujuan pendidikan adalah agar siswa mampu “menguasai diri”. Cara yang wajib diikhtiarkan untuk tercapainya pendidikan yang memanusiakan manusia. Ketika siswa mampu menguasai dirinya (emosionalnya), tentu mereka akan mampu menentukan sikap dan tingkah lakunya. Dengan sadar terbentuklah kualitas generasi yang mandiri dan benar dalam perbuatan. Jika ini dilakukan secara kolektif di sekolah-sekolah Indonesia, saya pikir narasi tentang ragam kekerasan di sekolah kita akan tinggal cerita. Semoga
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H