Peristiwa pembunuhan kepada seorang siswa, oleh kakak kelasnya di salah satu SMA favorit di daerah Magelang baru-baru ini, menjadi catatan korektif bagi pengelolaan pendidikan kita. Terus berulangnya kejadian yang berhubungan dengan kekerasan di dunia pendidikan masih saja sering terjadi. Baik di level sekolah maupun di tingkat perguruan tinggi. Ditambah lagi rekomendasi yang pasti selalu diberikan, khususnya untuk pemegang kebijakan (pemerintah) dengan segala hirarkinya dan sekolah/perguruan tinggi tersebut. Tetapi kenapa kekerasan masih saja terus terjadi di sekolah kita?
Padahal bagi seorang Tan Malaka, tujuan pendidikan itu untuk “mempertajam kecerdasan, memperkukuh kemauan serta memperhalus perasaan”. Potret kekerasan yang menyelimuti dunia pendidikan, tentulah nihil akan tujuan pendidikan itu. Kekerasan di sekolah memiliki korelasi antara entitas sekolah, yang terdiri dari; pemerintah, kurikulum, guru, siswa, orang tua dan sivitas akademik lainnya, dengan budaya sekolah (school culture) yang dibentuk. Bagaimana pola interaksi yang terjadi antara guru, siswa, orang tua dan pemerintah akan memberi andil dalam membangun budaya pendidkan (budaya sekolah). Dalam kasus-kasus kekerasan di lingkungan sekolah, setidaknya ada beberapa hal yang menjadi catatan substantif, yang secara khusus penulis berikan untuk pihak sekolah.
MOS: Berawalnya Kekerasan
Pertama, sudah menjadi sesuatu yang biasa terjadi di sekolah, jika masa orientasi peserta didik (MOPD) lazimnya disebut MOS awal tahun ajaran, adalah momentum penting bagi kakak kelas (senior) untuk memperlihatkan “siapa dirinya” kepada pendatang baru (siswa baru) di sekolah mereka. Misalkan di level SMA, Kelas XI dan XII SMA berusia sekitar 16-18 tahun. Di usia itu secara psikologis adalah masa peralihan remaja pertengahan. Usia remaja tersebut memiliki karakteristik; imitasi/identifikasi kepada idola, agresif (keras kepala, berkelahi dan sejenisnya) atau regresif (penyendiri, pelamun dan sejenisnya), secara sosial lebih menyukai bergaul dengan peer group (teman sebaya) yang memiliki nilai yang sama.
Masa-masa remaja pertengahan menuju akhir ini, karakteristik psikologisnya sedang beralih menuju dewasa awal (adolessence) yang lebih stabil, memiliki sikap, dan orientasi yang jelas. Kekerasan yang terjadi lingkungan sekolah acap kali secara kolektif dari senior kepada adik kelas. Walaupun beberapa kasus, dilakukan secara pribadi kepada pribadi. Kekerasan berkelompok ini dilakukan karena bisa dimotivasi oleh unjuk eksistensi diri (agar diakui dan ditakuti), kekuatan, pengaruh dan dominasi kelompok. Inilah kemudian yang disebut bullying (perundungan). Pelaku kekerasan berupa perundungan ini, umumnya dilakukan secara berkelompok.
Oleh sebab itu, guru dan kepala sekolah mesti mendisain masa-masa pengenalan/orientasi siswa secara lebih humanis, konstruktif dan menyenangkan. Pada umumnya MOS ini sering diisi oleh OSIS (kakak kelas), bukan dikendalikan sepenuhnya oleh guru. Padahal ruang kreativitas siswa senior seperti OSIS, MPK (Majelis Perwakilan Kelas) dan kelompok ekstrakurikuler ada waktunya, lebih luas dan variatif. Inilah peluang yang bisa disalahgunakan oleh kakak kelas, melakukan perundungan kepada adik kelas pendatang baru. MOS adalah momentum pertama siswa baru mengenal sekolah mereka, jika di awal saja rasa kenyamanan itu sudah direnggut, maka tentulah first impression yang berbekasdi memori mereka adalah sekolah ini sangat menakutkandan saya berada di tempat yang salah.
Pendidikan Cita Rasa Tentara
Kedua, masih berkaitan dengan aspek di atas, sudah menjadi kebiasaan juga di sekolah-sekolah setingkat SMA di Indonesia, memberikan pendekatan militeristik kepada siswa dalam berbagai bentuk pelatihan kepemimpinan siswa. Misal saja yang disebut Latihan Dasar Kepemimpinan Siswa (LDKS) di tingkat SMA di Jakarta dan kota-kota besar lainnya, umumnya diserahkan kepada pihak militer. Ringkasnya pelaksanaan LDKS dilakukan di lembaga TNI. Pihak sekolah bekerjasama dengan lembaga/satuan di bawah TNI. Pihak sekolah yang nota bene adalah lembaga sipil, menyerahkan pendekatan militer untuk menanamkan nilai-nilai kepemimpinan, disiplin, tanggung jawab, nasionalisme, kerjasama, gotong-royong dan lainnya kepada tentara. Nilai-nilai soft skills tersebut diinternalisasi di lembaga militer, dengan pendekatan bernuansa militer.
Tidak bisa disalahkan jika imajinasi yang terbentuk kemudian di pikiran siswa adalah bahwa pemimpin yang tegas itu ada di tentara (laiknya seorang tentara), disiplin ala tentara, tegas dan keras ala tentara dan berperilaku ala tentara. Apalagi sekolah-sekolah yang secara formal memang bermuatan pendidikan semi-militer. Nilai-nilai kemiliteran pasti sudah ditanamkan semenjak masuk. Tidak ada yang keliru dengan nilai-nilai kebajikan (virtues) yang dimiliki oleh lembaga militer tersebut. Yang keliru adalah jika sekolah menyerahkan sepenuhnya pelatihan kesiswaan, mulai dari bentuk, strategi, pendekatan dan teknis pelatihan kesiswaan secara total kepada militer, yang berbeda kulturnya dengan sipil. Apalagi jika tidak disertai dengan perjanjian kerjasama yang jelas di awal dan pengawasan kedua belah pihak.
Entah kenapa realita di atas sangat lazim terjadi, tidak hanya sekolah, bahkan lembaga-lembaga negara pun menyerahkan pelatihan kepemimpinan kepada lembaga militer. Seperti pra jabatan bagi calon PNS, pelatihan penerima beasiswa LPDP dan bentuk lainnya. Sebagai otokritik, hal tersebut terjadi karena entitas lembaga sipil (civil society) belum mampu menghadirkan model/pola latihan kepemimpinan yang pas dan berkesan, tentunya bercorak sipil bagi siswa/mahasiswa, sehingga dipilihlah pendekatan ketentaraan itu.
Pembelajaran yang Mengundang