Mohon tunggu...
Satriwan Salim
Satriwan Salim Mohon Tunggu... profesional -

Pendidik di SMA Labschool Jakarta-Univ. Negeri Jakarta (UNJ). Wasekjen Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI). Pengurus Asosiasi Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Indonesia (AP3KnI). Alumni Program Studi Pengkajian Ketahanan Nasional Pascasarjana Universitas Indonesia (UI). Bisa kunjungi Blog saya di www.satriwan.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bukan Khilafah, Bukan Pula Negara Sekuler

4 April 2017   12:22 Diperbarui: 4 April 2017   12:32 543
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semangat keislaman para founding fathers-mothers kita dalam politik kenegaraan, khususnya ketika republik ini akan dibentuk, terrekam jelas sekali dalam dokumen-dokumen sejarah. Rumusan Pancasila 1 Juni 1945, dilanjutkan kemudian 22 Juni 1945 yang memuat 7 (tujuh) kata di sila pertama; “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, adalah salah satu produk ijtihad politik kelompok Islam dalam masa-masa sidang BPUPKI. Bahkan salah seorang anggota “Panitia Perancang Hukum Dasar” yang diketuai Soekarno, KH. Wahid Hasyim mengusulkan; “Presiden ialah orang Indonesia asli yang beragama Islam”. Juga di dalam rancangan UUD pasal 29 redaksinya menjadi “Agama negara adalah agama Islam” (Latif, 2011). Ini adalah beberapa contoh ijtihad politik pendiri bangsa, yang di kemudian hari mereka juga merevisi ijtihad politiknya itu, sebagai bagian dari kompromi bersama.

Walaupun pada akhirnya, formalisasi agama Islam dalam hukum konstitusi seperti yang diusulkan di atas, berakhir pula dengan kompromi jalan tengah. Justru tokoh Islam jugalah yang berbesar hati untuk menghapus 7 kata tersebut. Ki Bagus Hadikusumo adalah orang yang sangat berperan penting, melonggarkan ruang hatinya dalam beragama, mengusulkan agar 7 kata itu dihapus saja (setelah mendapat masukan dari tokoh-tokoh Indonesia Timur). Begitu pula ketika pascakemerdekaan, Pemilu 1955 yang menghasilkan terpilihnya anggota Konstituante yang diberikan tanggungjawab salah satunya, untuk membuat konstitusi pengganti UUD Sementara 1950. 

Dalam sidang-sidang Konstituante ini terjadi perdebatan sengit antara kelompok nasionalis sekuler, komunis dan Islam untuk merumuskan kembali dasar negara. Syafii Maarif dalam bukunya “Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara” (2006) memotret perdebatan Konstituante itu secara apik. Lagi-lagi kemudian, tokoh-tokoh Islam pula yang berbesar hati untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara.

Walaupun awal mulanya seorang M. Natsir menginginkan Islam sebagai dasar negara, justru di kemudian hari Natsir juga melakukan pembelaan terhadap Pancasila yang baginya sangat sesuai dengan nilai-nilai Islam. Dengan menjadikan “Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagai sila pertama Pancasila, menurutnya 5 sila itu akan menjadi dasar etika, moral dan spritual bangsa Indonesia yang selaras dengan tauhid. Baginya Pancasila sesuai dan selaras dengan doktrin Islam (Latif, 2011). 

Masih menurut Natsir (Kholid O. Santosa dalam M. Natsir, 2014) “... Dan saya katakan Indonesia juga negara Islam, oleh kenyataan bahwa Islam diakui sebagai agama dan panutan jiwa bangsa Indonesia, meskipun tidak disebutkan dalam konstitusi, bahwa Islam itu adalah agama negara, (tetapi) Indonesia tidak memisahkan agama dari (masalah) kenegaraan (politik). Dengan tegas Indonesia menyatakan percaya kepada Tuhan Yang Maha Esa jadi tiang pertama dari Pancasila, kaidah yang lima, yang dianut sebagai dasar ruhani, dasar akhlak dan susila oleh negara dan bangsa Indonesia.”

Diskursus sosio-historis mengenai hubungan agama (Islam) dan politik-negara sudah ada sebelum republik ini berdiri. Islam sebagai sebuah agama tidak bisa dipisahkan dari konteks negara Indonesia. Walaupun aspirasi formalisasi negara Islam melalui lembaga BPUPKI dan Dewan Konstituante itu tinggal sejarah, namun spirit nilai-nilai Islam tetap tidaklah bisa hilang bagi umat dalam berpolitik dan bernegara. Pancasila adalah jalan tengah (wasathan), antara format negara sekuler dan negara agama. 

Demokrasi sebagai sebuah sistem politik tidaklah betentangan dengan nilai-nilai Islam, di antaranya prinsip syura, demikian kata Natsir. Natsir kemudian mengenalkan konsep teodemocracy, yaitu demokrasi yang sepenuhnya bahwa kekuasaan itu adalah amanah dari Tuhan Yang Maha Kuasa. Tuhan dan agama tidak bisa dibuang begitu saja dalam menjalankan politik bernegara. Nilai-nilai ketuhanan dan agama mesti menyatu dalam kehidupan politik bernegara.

Selanjutnya adalah bukti bahwa Islam dan politik kenegaraan tidak dapat dipisahkan yaitu adanya berbagai rupa produk regulasi pemerintah yang sampai kini kita lihat dan nikmati. Produk regulasi berupa undang-undang yang mengatur kehidupan umat Islam. Lahirnya UU Pengadilan Agama, UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, UU Perbankan Syariah, UU Ibadah Haji, UU Zakat, Infak dan Sedekah, UU Pemerintahan Aceh, UU Wakaf, UU Jaminan Produk Halal, UU Obligasi Syariah, UU Partai Politik yang memberikan ruang bagi partai berasaskan agama (Islam), UU Sistem Pendidikan Nasional yang memuat sekolah berbasiskan Islam, UU Ormas yang memuat asas agama (Islam) bagi ormas tersebut dan berbagai peraturan di bawahnya. 

Undang-undang merupakan produk lembaga politik (legislatif-eksekutif), lahir dari proses politik dan merupakan produk dari aspirasi politik umat Islam di Indonesia. Ini adalah beberapa bukti bahwa agama (Islam) tidak bisa dan tidak akan pernah bisa kita lepaskan dari politik di negara Pancasila ini. 

Bagi Bahtiar Effendy (1998) terjalin hubungan yang tidak harmonis antara Islam dan negara di Indonesia pada masa Orde Lama dan Orde Baru. Tapi pada akhirnya hubungan Islam dengan negara justru menujukkan strategi akomodasi terhadap aspirasi dan kepentingan umat Islam. Diterapkannya kebijakan-kebijakan yang sejalan dengan kepentingan sosial-ekonomi dan politik umat Islam. Menurut Bahtiar jika dikategorikan secara luas, bukti-bukti akomodasi itu dapat digolongkan ke dalam empat (4) jenis yang berbeda; 1. akomodasi struktural, 2. akomodasi legislatif, 3. akomodasi infrastruktural dan 4, akomodasi kultural. Lahirnya produk perundang-undangan yang mengakomodasi kepentingan dan aspirasi umat Islam merupakan bukti nyata akomodasi legislatif tersebut. 

Fakta dan analisis seperti ini tertuang sangat rinci dan argumentatif dalam bukunya “Islam dan Negara, Transformasi Pemikiran dan Praktik Politik Islam di Indonesia” (1998). Kalau kita lihat pascareformasi, justru UU yang lahir sebagai bentuk akomodasi kepentingan politik dan sosial-ekonomi umat Islam makin betambah banyak. Ini lagi-lagi menjadi bukti bahwa antara agama (Islam) dan politik-kenegaraan tak dapat kita cerai-beraikan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun