Judul di atas terinspirasi ketika saya menghadiri seminar pendidikan di DPR RI yang diselenggarakan oleh Fraksi Partai Golkar pada Desember 2016. Seminar yang menghadirkan guru-guru se-Indonesia dengan para pembicara yang representatif di bidang pendidikan tentunya. Dalam sesi tanya-jawab, ada seorang kepala sekolah sebuah SMA negeri favorit/unggulan di Kota Bekasi yang bertanya kepada pembicara, yakni rektor di kampus eks-IKIP, yang notabene adalah kampus pendidikan.
Pertanyaan tersebut adalah mengapa siswa-siswa SMA favorit/unggulan perkotaan sangat jarang memilih masuk universitas kependidikan/keguruan? Dengan kata lain, mengapa siswa SMA favorit/unggulan perkotaan jarang memilih untuk menjadi guru sebagai profesi pilihan?
Saya menyetujui pertanyaan mendasar kepala sekolah tersebut. Di sini saya mencoba menjawab dengan uraian yang bisa disampaikan berdasarkan pengalaman mengajar di kampus pendidikan dan mengajar di salah satu SMA favorit di Jakarta. Sebagai tambahan informasi saja, beberapa jurusan favorit siswa SMA yang dipilih dalam jalur undangan atau ujian tertulis SBMPTN (data 2015 dan 2016) di antaranya farmasi, PGSD, kedokteran, teknik, manajemen, dan akuntansi. Tampak memang jurusan kependidikan adalah salah satu pilihan favorit siswa. Tapi mesti diingat, dari puluhan jurusan kependidikan di kampus eks-IKIP tersebut, hanya jurusan pendidikan guru SD yang menjadi favorit secara nasional.
Sebagai pengajar di salah satu SMA swasta yang katanya cukup favorit di Jakarta, saya memang sering merasakan “keanehan” ketika tidak ada siswa-siswa kami yang ingin melanjutkan perkuliahan di jurusan kependidikan. Tiap tahun lulusan dari sekolah kami mayoritas memilih jurusan-jurusan non-kependidikan di kampus seperti UI, ITB, UGM, Unpad, ITS, IPB, dan UNS.
Tak satu pun dari siswa kelas XII tersebut memilih jurusan kependidikan di kampus eks-IKIP. Fenomena ini terjadi tiap tahun. Artinya, lulusan kami tidak ada yang ingin menjadi guru. Beberapa kali saya coba tanyakan ke beberapa kawan yang mengajar di SMA negeri favorit/unggulan di Jakarta. Pun jawabannya sama. Siswa mereka tidak ada yang ingin memilih profesi guru sebagai cita-citanya. Jadi pertanyaan kepala sekolah di atas adalah fenomena umum di sekolah-sekolah favorit/unggulan di Jakarta dan sekitarnya.
Tepatkah jika saya ambil asumsi, jika cita-cita menjadi guru itu hanyalah obsesi siswa-siswa dari kampung yang memang hanya punya imajinasi terbatas. Bercita-cita menjadi guru. Karena mereka tidak pernah melihat profesi desain grafis, tak pernah berjumpa akuntan. Atau tak berani memilih jurusan hukum, kedokteran dan hubungan internasional karena biaya kuliahnya mahal.
Atau memilih menjadi guru justru karena terinspirasi oleh gurunya di sekolah, dengan berbagai keterbatasan tetapi tetap semangat mendidik mereka tanpa tanda jasa. Para guru yang yang tak berhenti menginspirasi. Sehingga cerita tentang pertanyaan seorang guru TK/SD kepada para siswanya, “Apa cita-citamu kelak, Nak?” Para siswa menjawab, “Saya ingin jadi guru, Bu Guru!” terus ada di sekolah-sekolah pelosok negeri. Ini hanyalah cerita para siswa di daerah pedesaan bukan cerita siswa di sekolah-sekolah berbiaya mahal, unggulan dan favorit di perkotaan seperti Jakarta saya kira.
Di sisi lain ketika mengajar di salah satu kampus eks-IKIP, pada awal perkuliahan kelas mahasiswa baru, saya selalu bertanya, kenapa memilih jurusan kependidikan kepada mahasiswa? Umumnya mereka yang berasal dari Jakarta dan sekitarnya menjawab, ini adalah jurusan pilihan terakhir, karena dari 3 atau 2 pilihan jurusan sewaktu ujian tertulis, pilihan terakhir barulah jurusan kependidikan ini, karena pilihan utama tidak diterima. Dengan kata lain menjadi guru adalah pilihan terakhir. Saya tidak lagi kaget mendengarnya, khususnya bagi siswa yang berasal dari SMA favorit/unggulan di Jakarta.
Mereka yang memilih jurusan kependidikan sebagai pilihan terakhir juga belum bisa membayangkan harus jadi guru, karena cita-cita semulanya memang bukan jadi guru. Apalagi punya wawasan yang utuh tentang betapa rumitnya persoalan guru di Indonesia sampai sekarang, ditambah makin ketatnya iklim kompetisi untuk menjadi guru. Dengan kebijakan pemerintah yang mensyaratkan (calon) guru harus memiliki sertifikat pendidik sebagai guru, dan itu hanya bisa didapatkan setelah mengikuti program Pendidikan Profesi Guru (PPG) prajabatan selama 1 tahun. Artinya, lulus sarjana pendidikan (S.Pd) tidak otomatis langsung bisa mengajar secara profesional, karena para S.Pd ini hanya meraih gelar kesarjanaan, bukan gelar profesi sebagai guru. Profesi guru bisa diraih jika para lulusan S.Pd lulus mengikuti Program PPG tersebut. Sama halnya dengan S.Ked dan profesi dokter.
Pertanyaan kemudian adalah, jika memang SMA favorit/unggulan perkotaan yang diasumsikan memiliki siswa-siswa berprestasi lebih tidak memilih profesi keguruan sebagai cita-citanya, apa yang salah dengan profesi guru? Kenapa profesi guru tidak banyak diminati oleh lulusan SMA favorit/unggulan perkotaan? Beberapa jawabannya yang saya dapatkan dari para siswa adalah: Profesi guru tidak akan menjanjikan kesejahteraan yang luas bagi mereka. Karena paradoks dengan realitas yang mereka lihat, ketika masih ada guru yang kebetulan statusnya honorer bergaji 300 ribu/bulan. Miris memang, honor yang horor. Meminjam istilah generasi milenial ini, “Hari gini, gaji 300 ratus ribu sebulan? Capek dehhh....Om telolet Om...!”
Ada juga yang menjawab bahwa kampus-kampus eks-IKIP yang sekarang telah mengonversi diri menjadi universitas itu tidak “sebagus” kampus seperti UI, ITB dan UGM setidaknya dalam perolehan ranking nasional apalagi internasional. Demikian persepsi siswa. Jawaban ini tentu harus menjadi bahan introspeksi diri bagi kampus pendidikan untuk meningkatkan kualitas diri. Menjadi input bagi kampus pendidikan untuk mengejar kualitas, sehingga mampu bersaing dengan kampus non-kependidikan. Bukankah kampus eks-IKIP ini sekarang juga sudah membuka jurusan murni alias non-kependidikan. Tentu mutu akademik yang akan menjadi taruhannya.
Atau jangan-jangan keengganan siswa SMA favorit/unggulan memilih profesi guru karena memang bagi mereka, tidak satu pun gurunya di sekolah yang bisa menjadi sekaligus memberikan inspirasi sebagai seorang guru. Teringat apa yang dikatakan William Arthur bahwa: “Guru biasa itu memberi tahu, guru baik itu menjelaskan, guru super itu mendemontrasikan dan guru yang agung itu yang memberikan inspirasi”. Mungkin guru super dan menginspirasi itulah yang saat ini sudah defisit dimiliki oleh sekolah-sekolah favorit/unggulan perkotaan, sehingga minus pula para siswanya yang bercita-cita menjadi seorang guru seperti dirinya. Semoga menjadi refleksi sederhana kita para guru di perkotaan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H