Anak ini menambahkan jika beberapa guru dan temannya di sekolah sudah tahu bahwa ayahnya adalah “MS”, yang tiap detik muncul di televisi dan media online mengenakan rompi orange khas. Hatinya memang merasa sangat malu, tapi saya terus yakinkan bahwa dia masih memiliki masa depan. Justru saya memotivasinya agar membuktikan walaupun ayah berurusan dengan KPK, tetapi masa depannya masih suci dan bersih untuk diwarnai dengan prestasi gemilang. Sayapun bertanya, “Dek, apakah ada guru atau siswa yang mem-bully kamu atau ngejek kamu, bilang kalo ayah begini dan begitu?” (saya sengaja tidak memakai diksi “koruptor” untuk menjaga perasaan anak baik ini). Sambil menunduk dia menjawab, “Belum sih Pak dan semoga saja tidak ada ya Pak!.” Mendengar itu lega juga rasanya hati saya karena bebannya tidak bertambah. Pastilah galau rasanya, sudahlah ayah ditangkap KPK, di sekolah diejek pula. Tentu ini yang namanya orang makan nangka kita makan getahnya. Tapi hal ini tidak terjadi kepadanya.
Saya tidak ingin anak ini jatuh secara mental, merasa inferior, takut, kehilangan orientasi, depresi sampai mengganggu aktivitasnya belajar. Justru dalam percakapan kami yang hampir 2 jam itu, saya terus menguatkan dan meyakinkan kepadanya agar tetap kuat dan arahkan pandangannya jauh ke depan. Buktikan kepada republik ini bahwa, “Walaupun ayahmu berjalan tertunduk ke luar gedung KPK, tapi kepala kamu harus tetap tegak menatap kehidupan dan cita-cita jauh ke depan!” Begitulah kalimat yang keluar sebagai nasihat saya kepadanya. Terlihat anak ini sedikit tersenyum mendengar kalimat tersebut.
Anak baik ini memiliki masa depan yang haram untuk divonis bersalah oleh opini masyarakat akibat ulah ayahandanya. Anak tetaplah anak yang punya cita-cita. Saya tidak mau mengeksekusi nasib dan masa depan dia. Sekelas Ibrahim pun punya ayah yang bertentangan secara ideologis dan teologis dengannya. Bahkan Tuhan menghukum sang ayah dengan hukuman sebagai musuh Tuhan karena kemusyrikannya. Tapi seorang rasul Ibrahim Sang Khalilullah tetap seorang anak yang baik terhadap ayahandanya. Perlakuannya tetap adil terhadap ayahanda, karena rasa keadilan memang tak mengenal siapa dan dimana. Dan nama Ibrahim dicatat dalam memori kolektif umat beragama, di tempat yang sangat terhormat.
Empati yang mendalam dari saya untuk anak baik, jujur, berani dan hebat ini!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H