Pasca Jokowi ditetapkan sebagai calon presiden (cawapres) PDI-Perjuangan, tensi politik nasional makin naik. Pelbagai analisis muncul di media cetak, elektronik bahkan media sosial. Untuk media terakhir ini, “perang siber” sangat terasa bagi mereka yang “Jokowi Banget” versus anti-Jokowi. Mereka yang “Jokowi banget” di dunia maya dinamai “Jasmev” adalah kependekan dari Jokowi-Ahok Social Media Volunteers. Perang siber antara pro dan kontra Jokowi terus terjadi di dunia maya ini. Setidaknya indikator bahwa respon publik yang tinggi terhadap pencalonan Jokowi terlihat dari ramainya pergunjingan di media sosial tersebut. Tetapi dalam hal ini saya tidak akan membahas para “pasukan siber” yang tengah bergerilya tersebut.
Perang politik jelang Pemilu 2014 sudah dimulai. Panasnya tensi politik makin terlihat antara Jokowi dan Prabowo atau PDI-Perjuangan versus Gerindra. Mulai dari Perjanjian Batu Tulis yang ditagih oleh Prabowo, kampanye jangan pilih pemimpin boneka, ingkar janji sampai pada puisi bohong boleh asal sopan dan puisi ikan kurus ala Fadli Zon. Inilah potret “Perang Paregreg” dalam konteks politik nasional kini.
Di sisi lain, suasana kebatinan para pendukung Jokowi (plus PDI-P), merasa sudah di atas angin. Bahkan kalimat-kalimat optimisme akut yang muncul sama rupanya ketika pencapresan SBY pada 2009. Silakan telisik di pelbagai media sosial. Para pendukung Jokowi agaknya mesti belajar pada masa lalu. Kata Soekarno, “Jas Merah” alias jangan sekali-kali melupakan sejarah. Kalimat optimisme yang bercitarasa arogansi politik seperti ini mestinya dibabat habis. Seperti “Jokowi pasti jadi presiden, siapapun pasangan cawapresnya Jokowi-Jokowi tetap menang Pemilu, Jokowi capres-Pemilu 2014 hanya satu putaran”. Ditambah lagi analisis mistik politik bernada haqqul yaqin ala Sukardi Rinakit dengan menyitir Kitab Musasar-nya Jayabaya, tentang penerawangannya terhadap Jokowi Presiden RI 2014 yang sudah diramalkan oleh Jayabaya berabad-abad sebelumnya.
Mesti diingat bahwa politik tidaklah garis lurus. Politik adalah garis yang berlika-liku, kadang horizontal, vertikal, diagonal bahkan berupa coretan-coretan, tetap dengan satu tujuan yakni kekuasaan. Kata Otto Van Bismarck, “Politics is the art of possible”. Bagaimanapun suasana kebatinan para pendukung Jokowi yang sedang di puncak menara optimisme saat ini, jangan sampai kecele alias salah dalam memilih siap pendamping cawapres Jokowi nanti. Walaupun urusan kecele atau salah alias dikibuli dalam politik, sudah pernah dirasakan pada Pemilu 1999 oleh PDI-P. PDI-P menang Pemilu 1999, tetapi presidennya Gus Dur. Penulis kemudian mencoba memberikan analisis tentang siapa yang bakal menjadi cawapres Jokowi nanti. Untuk mengantisipasi kesalahan dalam strategi politik Jokowi nantinya. Walaupun para jago politik yang puluhan tahun berpengalaman, penuh sesak jumlahnya di internal PDI-P, toh politik sekali lagi adalah urusan momentum, kalkulasi, strategi, persepsi dan tentunya garis tangan Ilahi.
Menurut penulis, pilihan cawapres Jokowi yang tepat dan strategis adalah berasal dari kelompok Islam, baik tradisional maupun modern. Jika melihat kuantitas, kelompok Islam tradisional yang diwakili secara lembaga oleh NU jumlahnya terbanyak secara nasional. Bisa juga mengambil dari kelompok Islam modern yang diwakili Muhammadiyah. Komunikasi politik Jokowi selama ini sudah tampak ke permukaan bahwa Jokowi (termasuk PDI-P) sudah membangun komunikasi intens dengan NU dan Muhammadiyah. Jokowi bertemu KH. Mustafa Bisri (Rais ‘Aam PBNU) dan Din Syamsudin (Ketua Umum PP Muhammdiyah). Posisi tawar kelompok Islam (diwakili NU dan Muhammadiyah) sanghat menentukan dan strategis dalam penentu kemenangan Jokowi ke depan. Posisi strategis kelompok Islam tersebut bersifat jangka panjang.
Orientasi kelompok Islam secara politik atau kita sebut saja “Islam politik” tidaklah monolitik, ini betul. Tetapi dua organisasi besar Islam ini memiliki kekuatan daya tawar karena kuantitas pengikut plus tokoh-tokoh organisasi yang berpengaruh di tengah masyarakat. Apalagi kedua ormas Islam tersebut tegak di barisan Islam moderat. Di lain hal sisa-sisa devide et impera peninggalan Orde Baru masih tersisa, setidaknya bagi kelompok Islam politik. PDI-P kepalang dicitrakan sebagai wadah perjuangannya kelompok abangan dengan berbagai varian orientasi politik di dalamnya. Persepsi “cap merah” bagi PDI-P masih terasa di kalangan Islam politik yang nota bene senasib di zaman Orde Baru dulu, sama-sama dilabeli, ekstrem kanan (cap hijau) bagi kelompok Islam.
Tesis tentang politik aliran (khususnya menyangkut latar suku dan agama) sudah gagal dalam politik nasional, setidaknya jika parameternya adalah Pilkada Jakarta 2012 yang sukses mengantarkan Jokowi-Ahok menjadi pemimpin Jakarta. Isu dan kampanye bernuansa SARA tidak laku dijual. Tapi sekali lagi, ini adalah potret perilaku pemilih khas kota Jakarta yang karakternya independen, rasional dan nir-ideologis. PDI-P dan Jokowi mesti sadar, bahwa gejala politik aliran (baca; agama) saat ini terasa berjangkit kembali. Khususnya merespon pencapresan Jokowi. Isu-isu berlatar sentimen agama kembali muncul di media sosial bahkan di media massa yang berorientasi Islam politik tertentu. Pembaca mungkin pernah membaca kicauan seorang ustadz di akun twitternya, penulis link di sini http://www.muslimedianews.com/2014/03/ustadz-ini-bilang-selangkah-lagi-jokowi.html dan ada juga berita http://www.republika.co.id/berita/nasional/politik/14/03/15/n2gls4-wasekjen-mui-jokowi-telah-berbohong
Secara gamblang dituliskan jika peninggalan seorang Jokowi baik di Solo maupun di Jakarta -jika jadi presiden- adalah pemimpin kafir. Karena wakil walikotanya non-muslim begitupula Ahok. Respon kelompok Islam politik seperti ini mesti dibaca serius oleh PDI-P dan Jokowi. Jakarta memang pernah dipimpin oleh Gubernur non-muslim dulu era Orde Lama, yakni Henk Ngantung. Tapi kondisi politik nasional kala itu berbeda, demokrasi terpimpin ala Soekarno yang tipikalnya adalah membabat habis bagi yang protes dan anti-revolusi. Tapi apakah saat ini, dengan “demokrasi liberal” yang terjadi di tengah masyarakat (tentunya dalam praktik sistem politik juga), penerimaan gubernur yang beragama di luar agama mayoritas bisa diterima? Penulis mendengar informasi bahwa jika Ahok menjadi gubernur maka kelompok-kelompok berlatar primordial agama yang tadinya diam (masih bisa menoleransi Ahok karena hanya sebagai wakil gubernur bukan pucuk tertinggi sebagai gubernur) akan melawan. Inilah yang menjadi tantangan sekaligus tugas rumah dalam pendidikan politik sekaligus pendidikan agama di masyarakat kita.
Pengalaman Megawati berpasangan dengan Hasyim Muzadi pada Pemilu 2004 yang kalah tentu berbeda dengan sekarang. Sebab capresnya adalah Jokowi dengan jalan cerita yang dramatis, plus “peninggalan” yang dianggap menyeberang dari kelaziman ibukota selama ini. Tentu pertanyaannya siapakah figur Islam moderat yang mampu diterima oleh kalangan nasionalis, Islam tradisional-modern bahkan oleh kalangan Islam politik sekalipun? Menurut penulis nama seperti Jusuf Kalla (Pengurus PB NU, dekat dengan kalangan Muhammadiyah dan ormas Islam lainnya), Mahfud MD (latar NU, Ketua Presidium KAHMI) dan Abraham Samad (dekat dengan berbagai kelompok Islam, karena juga berlatar HMI-MPO). Dilihat dari rekam jejak dan kedekatan dengan kelompok Islam di berbagai level, tiga tokoh ini relatif bisa diterima.
Dengan memilih cawapres dari kalangan Islam moderat dan relatif diterima oleh berbagai kelompok Islam, maka pemerintahan Jokowi akan “terjaga” sampai akhir periode (Silakan bandingkan duet SBY-JK dengan SBY-Bodiono). Oleh karena itu jalan politik Jokowi dan Megawati untuk menentukan cawapres dari kelompok Islam adalah ijtihad politik yang rasional, agar dinamika di arus bawah (plus elit tentunya) bisa terjaga dan tidak terlalu besar riaknya yang pastinya akan menghabiskan energi pemerintah ke depan.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H