Mohon tunggu...
Satrio Tegar Sadewo
Satrio Tegar Sadewo Mohon Tunggu... Administrasi - Percacita.com

Pengagum Difabel yg punya produk bagus, cek percacita.com

Selanjutnya

Tutup

Money

Perusahaan Indonesia "Hampir" Bangkit, Tapi....

19 Januari 2014   18:19 Diperbarui: 24 Juni 2015   02:41 87
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Alangkah kagumnya ketika kami sekelas mata kuliah Administrasi Perusahaan Multinasional di kampus kami membahas kasus-kasus keberhasilan perusahaan raksasa separti Mc.Donald, General Motors, Chevron, Wal-Mart, dan sebagainya. Keuntungan milyaran dolar pertahun dan ratusan cabang di dunia seakan menjadi hal yang lumrah sebagai capaian mereka. Saat saya merenungi perilaku korporasi di Indonesia, perputaran pikiran saya selalu menuju bagaimana agar korporasi kita menjadi seperti itu. Harapannya tidak hanya prestasi, unjuk gigi, dan untung, tapi juga sebagai aktor politik internasional yang dapat memperkuat kedudukan Indonesia di mata internasional yang akhirnya berbuah kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Indonesia memang sedang mengalami masa pertumbuhan ekonomi yang tinggi (rata-rata 6% pertahun). Namun, pada kenyataannya yang saya amati, investasi (I) hanya menyumbang 27% dari semua perhitungan pendapatan nasional, itupun sebagiannya masih investasi asing, dan 60% adalah konsumsi (C) (sumber:data BPS). Belum lagi kenyataan UU PMA (Penanaman Modal Asing) yang jelas disusupi kepentingan asing. Sektor industri kita belum optimal didukung pemerintah.

Lanjut, dalam laporan RAPBN 2014 (sumber:kompas), disebutkan bahwa strategi pemerintah dalam ekonomi adalah keep buying strategy, kenapa tidak “keep invest”, “keep save money”, atau “keep produce”?. Strategi tersebut menjadi doktrin semu kepada semua lapisan masyarakat bahwa kita dibentuk agar kita "memelihara" hasil investasi asing, bahkan menguatkan kedudukannya. Kita disuruh keep buying terus, padahal yang kita buy adalah produk orang. Beda cerita kalau yang kita keep buying adalah laptop esemeka, mobil esemka, atau Cibaduyut shoes, tapi ini yang di keep buying kotak genggam merk "samsul" buatan luar, dan saudaranya, apalagi barang impor. Aduuuh!!!

Saya tidak heran ketika masyarakat kelas buruh yang berdemo menuntut kenaikan upah, punya motorsport kelas 50 juta. Bahkan mereka terang-terangan menyatakan butuh kenaikan upah untuk cicilan kredit motor!. Saya juga sadar sedikit maklum kalau korupsi terjadi pada sendi sendi vital, seperti kasus "Buto Akil" Mochtar di MK, Simulator SIM oleh penegak hukum, sampai korupsi pengadaan Al Qur'an. Ckckckckc, "hla iyaa, korupsi sampai segitunya, hla wong yang punya gawe di negara ini nyuruhnya terus beli sembarang kalir (keep buying), ya jadinya gitu". (Artinya : saya tidak heran koruspsi sampai segitu parahnya karena pemerintah membentuk gaya hidup konsumerisme pada masyarakat dengan doktrin keep buying). Memang dalam rinciannya strategi itu untuk mencegah PHK dan mengurangi inflasi. Tapi lihat, justru kebalik, buruh yang berdemo justru terancam di PHK. Strategi ini masuk kedalam alam pikiran bawah sadar bahwa kita orang Indonesia harus beli ini beli itu, punya ini punya itu, tanpa melihat kemampuan dan menabung untuk masa depan atau investasi, bahkan melakukan cara apapun untuk membeli dan mempunyi, termasuk korupsi. Dengan strategi itu, kita didik menjadi KONSUMERISME!!!

Beda lagi ceritanya apabila strategi yang dirumuskan "keep invest", "keep saving money", atau "keep produce". Mudahnya seperti ini, apabila kita termotivasi untuk berinvestasi (keep invest), tentunya kita harus meningkatkan tabungan (keep saving money), agar tabungan kita meningkat, pemasukan ditingkatkan dan "konsumsi ditekan". Nah, cara meningkatan pemasukan adalah dengan "keep produce", yaitu bisa dengan meningkatkan produktivitas diri dalam bekerja, ataupun membuka usaha mandiri. Dititik inilah daya saing kita di uji. Semuanya itu seperti sebuah lingkaran yang sulit dipisahkan dan bertalian. Potensi perilaku immoral juga dapat ditekan, pasalnya, dalam meningkatkan tabungan tadi, konsumsi harus dikurangi. Perilaku konsumerisme dapat dihilangkan kan?

Kalau kegemaran menabung kita meningkat, investasi kita tentunya kuat pula. Pemerintah lebih baik, bahkan sangat baik kalau strategi dan himbauan untuk rakyat adalah orientasi menabung, bukan orientasi membeli. Seandainya kita punya kekuatan modal finansial dari menabung, perusahaan impian Indonesia sejejak demi sejejak akan mampu digenggam anak bangsa.

Bersambung.........

Komentar, kritik, dan saran Anda sangat berharga bagi saya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun