Berbeda dengan versi Orde Baru -- yang dipropagandakan secara masif melalui buku-buku sejarah maupun film sadis G30S yang wajib ditonton oleh semua umur setiap tahun -- ternyata tak ada keterlibatan Gerwani yang dikatakan menyiksa para jenderal dengan mencungkil mata, memotong kemaluan, sambil pesta narkoba dan seks.
Hal ini dikuatkan dengan hasil visum 5 dokter dari TNI dan FKUI, yang menyatakan bahwa tidak ada bekas-bekas penyiksaan di tubuh para jenderal korban G30S (referensi disini).
Ketika koran-koran -- yang saat itu sepenuhnya dikuasai AD -- gencar mempropagandakan fitnah tentang Gerwani, termasuk cerita-cerita fiktif tentang 100 perempuan Gerwani menggunakan silet untuk memotong kemaluan jenderal, Soekarno berang dan berkata, “Apa dikira kita ini orang bodoh?? Nadanya ialah apa?? Untuk membangun kebencian!! Masuk akal?? Tidak!! Artinya, apa masuk akal, pen*s dipotong-potong dengan 100 silet?? Apakah bangsa kita berkualitas sedemikian rendah??” (sumber: Setiyono dan Triyana, Revolusi Belum Selesai, I:89).
Taktik perang urat syarat dan disinformasi bisa saja dianggap hal yang lumrah dalam strategi militer. Namun, jika fitnah itu berdampak jadi pembunuhan dan pemerkosaan ribuan perempuan Indonesia yang tak tahu menahu tentang pembunuhan jenderal, tentu tak dapat dibenarkan. Bahkan Robert F. Kennedy, senator di negeri AS yang antikomunis, mengutuk kekejian dan kebiadaban di Indonesia yang membunuh ratusan ribu korban termasuk perempuan itu sebagai kejahatan terhadap kemanusiaan (sumber: Newfield, “Robert Kennedy”, hlm 71).
10. Reaksi Soekarno
10.1. Kenapa Soekarno Ada di Halim??
Kembali ke tanggal 1 Oktober 1965 pagi hari. Pimpinan G30S mendapat kabar dari kurir bahwa pasukan penculik telah kembali ke Halim. Pimpinan G30S mengutus Supardjo beserta dua komandan Batalyon 454 dan 530 ke istana untuk menghadap Presiden Soekarno, untuk memberi tahu Presiden tentang G30S dan meminta agar mengambil tindakan terhadap Dewan Jenderal.
Mereka berangkat naik jip dari Halim sekitar jam 6 pagi, ketika empat perwira korban penculikan masih hidup dan belum ditembak. Ketika sampai di istana, para pengawal di gerbang memberi tahu bahwa Presiden Soekarno tak ada di istana (sumber: Transkrip Mahmilub, sidang pengadilan Supardjo, Pledoi dari Tertuduh, hlm 13 dan 28).
Sungguh mengherankan, operasi G30S yang bertujuan untuk “melindungi Presiden dari kup Dewan Jenderal”, yang dipimpin oleh Letkol Untung sang Komandan Tjakrabirawa yang malam itu seharusnya tugas jaga di istana, ternyata tidak tahu Presiden yang harus dilindunginya itu berada dimana.
Akhirnya mereka dapat info dari Halim, bahwa Soekarno berada di sana. Menpangau Omar Dani, yang baru dilapori bahwa Supardjo ke istana mencari Presiden, langsung mengirim helikopter ke istana untuk menjemput Supardjo kembali ke Halim (sumber: Martowidjojo, “Kesaksian Tentang Bung Karno”, hlm 389).
Operasi militer G30S ini tampak seperti dagelan. Pasukan militer menculik para jenderal ke Halim, untuk dilaporkan ke Presiden di istana, tanpa mengetahui bahwa Presiden pagi itu ada di Halim.
Ternyata, Soekarno malam itu menginap di rumah istrinya, Dewi. Dengan kedatangan Supardjo di istana pagi itu, Soekarno dijemput protokol istana dari tempat Dewi.