Apakah aku adalah dewa kebenaran? Sedangkan oranglain tidak boleh mengatakan  tidak benar. Menurutku aku selalu benar, kehidupan saja yang tidak benar. Mentalku sekeras baja, bahkan melebihi baja. Jauh diatasnya. Kalo tidak, sudah beberapa kali aku putuskan mati bergelantungan dengan leher terikat, tempatnya sudah terbayang. Syukur alhamdulillah, mentalku terdidik baik akan hal itu, meski terkadang manusiawi. Datang lagi-datang lagi, aku tahan. Setidak-tidaknya kepalaku tidak pernah pecah.
Aku takut, tidak bisa bercerita. Tentang hal yang sudah tumpuk menumpuk di kepala, masalah keluargalah, kehidupan sehari-harilah. Ditambah tugas-tugas kuliah yang menumpuk harus disegerakan. Aku tidak ingin marah, aku tidak ingin benci, aku ingin bahagia saja. Ya bagaimana, ini hiduploh. Sering, sangat sering. Apa yang dikatakan bapak/ibu dosen, tidak aku dengar sekalipun, padahal aku duduk paling depan, pikiran kemana-mana, mata kosong, hati tak karuan, pengen muntah. Begitulah kira-kira.
Apa aku ini sudah tidak waras? Sadar saja tidak. Dikeramaian yang ramai, tidak terdengar suara orang-orang. Yang terdengar hanya isi kepalaku saja, ramai, begitu ramai. Jalan-jalan-jalan, tiba-tiba sudah di depan gerbang kosan. Tidak terlihat sekeliling, tidak terdengar sekeliling, aku ini waras?
Ya barangkali ada satu-dua orang yang paham dengan kondisiku, tapi ya. Sekedar meraba-raba saja kepahamannya. Apatis, tak mau ikut kedalam-dalam. Bahkan, orang terdekatku saja tak pernah paham apa yang ada dikepalaku, aneh, banyak netingnya. Pikirannya untukku.
Mulut pahit, tidur susah. Asam lambung.
Mau cerita kemana lagi? Ya Tuhan sajalah, "hidup sekehendakmu saja Tuhan."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H