Ku turuti saja pinta mereka. Berlibur, kosakata yang menyenangkan untuk didengar anak-anak. Tentu saja, dengan polosnya Aku senang. Untuk pertama kalinya Aku berkenalan dengan Ibu yang melahirkan Ayahku, beliau dengan suka cita menyambutku dipenuhi air mata yang berlinang, Ada banyak anak sebaya di sana, mereka mengajakku bermain dengan setumpuk mainannya. Ada obrolan serius antara Ibuku dan Ibu dari ayahku. Sekilas hanya kutatap saja dan kutangkap samar di obrolannya.
Mentari benderang. Aku tak melihat lagi Ibu dan Nenekku di kamar tidur. Aku menangis sejadi-jadinya setelah Ibu dari ayahku berkata.
“Ibu dan Nenekmu sudah pulang ke kotanya, Nenek yang akan merawatmu saat ini”.
Lagi-lagi Ibu berbohong, liburanku bukan untuk liburan. Tapi untuk menetap dan menitipkanku. Semenjak itu, Aku tak pernah mau percaya lagi ucapan Ibu. Sampai terdengar kabar beliau telah meninggal karena sakit yang di deritanya. Tak setetes air matapun berlinang. Aku tak mau percaya.
Nenek dan kakek dari ayah yang merawatku sampai lulus Sekolah Dasar, guru-guru bertanya kemana akan di lanjut sekolah, dengan semangat aku mengutarakan keinginanku. Sayang, lewat telepon selular yang sangat jarang orang miliki di kampungku. Bapak mengatakan. Aku tak perlu melanjutkan sekolah, anak pertama fokus saja mencari uang. Aku menyadari, Nenek dan Kakek tidak akan sanggup membiayai sekolah menengah pertamaku.
Aku dan beberapa anak yang tidak melanjutkan sekolah, bekerja di sawah jika ada yang membutuhkan, suara bedug di siang hari menjadi pengharapan kami. Pertanda pekerjaan telah selesai. Setahun, tepatnya selepas Aku lulus dari Sekolah Dasar. Nenek dari Ibuku datang kembali. Ia mengabarkan kematian Ibu.
“ Nak, setelah ia menitipkanmu di sini. Esok paginya ia berangkat ke Jakarta menyusul ayahmu, ia tinggal di sana. Selang beberapa tahun pulang kembali dengan wajah yang penuh memar legam, bercerita perjalanannya tanpa sepeser uang. Ibumu sakit karena Ayahmu, ia hanya terbaring di kamar sampai ajalnya datang”.
Selang 3 tahun kabar meninggalnya Ibu, baru kupercayai. Kedatangannya ingin membawaku kembali ke kota kelahiran untuk melanjutkan sekolahku. Tentu saja dengan berat hati aku ikut Nenek dari Ibuku. Pengharapanku pada pendidikan sangat tinggi.
Nisan, semilir angin membelai pudakku. Ibu, sang pembohong ulung. Ia menyembunyikan apapun kesedihannya, untuk kebaikan anaknya. Sudah kupercayai lagi beliau, saat ini sedang menunggu di surga-Nya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H