Kelahiranku menuai badai krisis ekonomi sebuah negara, banyak di antara manusia lainnya kalap mengambil barang jarahan di toko-toko asing. Jika ada kekuatan super yang membuatku ingat ketika pertama kalinya melihat dunia atau menunggangi mesin waktu sampai di hari kelahiranku, alangkah lebih baik Aku tak pernah ada di bumi. Usang bayi mungil menangis di gendong sang malaikat tak bersayap, rambut menyamai jarum tegak lurus dengan mata terpejam. Hanya ada satu sayap yang melindungiku.
Aku bergumam “Bukankah setiap insan dilahirkan dan dibesarkan oleh kedua sayap yang melindunginya, kemana ia?”.
Ibu bercerita “ Nak, Ayahmu sedang bekerja di Jakarta, ia belum bisa pulang”.
“Kau terlahir di zaman yang membuat manusia seperti kami sulit mencari nafkah, uang tidak lagi berharga untuk dicari”.
Aku bergumam lagi “Bersyukur, karenamu Ibu, Aku tak pernah merasakan haus dan lapar. Lantas bagaimana keadaanmu?”.
Ibu, ia adalah seorang buruh sebelum kelahiranku dan tidak melanjutkan pekerjaanya. Para buruh banyak yang menjadi korban dan tercatat sebagai masyarakat yang sangat miskin. Namun, beliau tak serta merta menyerah pada keadaan. Ia bekerja keras meski baru saja mengalami perjuangan hidup-mati demi melihat sang buah hati menangis hadir di dunia.
Aku melihat lalu-lalang anak sebaya yang berseragam rapi dan sepatu baru, tangan mereka memegang erat kedua orangtuanya sebelum melintasi gerbang pendidikan. Sang ayah mencium kening putranya dan sang ibu memeluk erat tubuhnya lalu berpamitan sembari melambaikan tangan. Wajah Ibu kutatap penuh ratap, beliau berkata.
“Nak, nanti setelah umurmu mencapai waktunya. Ibu akan memasukanmu ke taman kanak-kanak di sana”.
Ibu berbohong, temanku di samping rumah. Ia telah belajar di sana, kelahiranku dengan dirinya hanya terpaut beberapa minggu, kami sebaya. Ibu merahasiakan ketidakmampuannya, tanpa sepatah kata mengucap masalahnya padaku. Ibu benar-benar berbohong, tahun demi tahun beliau tak pernah memasukanku di taman kanak-kanak itu.
Pagi-pagi sekali tidak seperti biasanya. Mereka, Nenek dan Ibuku berpakaian rapi, membawa tas gendong dengan seisi penuh pakaian, termasuk pakaianku. Beliau berkata.
“Ayo nak, kita akan berlibur”.