Asap rokok perlahan menyatu dengan dinginnya udara Jogja malam ini. Waktu sudah menunjukkan pukul 3 pagi, tapi aku tidak sedikitpun merasakan kantuk. Aku duduk sendirian di kursi panjang kost-kostan, tempat dimana selama 7 tahun ini aku ngobrol kesana kemari, berdiskusi tentang apa saja dengan teman-teman. Pikiranku sudah kusut, aku gagal pada kesempatan terakhirku untuk menyelesaikan kuliah.Â
3 hari lalu aku menghubungi ibuku di Papua, kusampaikan kabar buruk bahwa aku sudah berada di batas masa toleransi kampus. "kalau mau lanjut harus bayar uang pendaftaran dan segala macamnya lagi" kataku mencoba menjelaskan situasi saat ini. Aku tidak melihat ekspresi ibuku saat itu, tapi aku bisa dengan jelas merasakan kekecewaan dari hatinya. "Sudah pulang saja, mau apa juga di sana lama-lama" katanya. Awalnya aku masih mencoba untuk meyakinkan ibuku bahwa paling tidak aku masih bisa hidup dan cari kerja di Jogja, tapi sepertinya seorang ibu punya sudut pandang lain dalam menentukan keputusan, dia tau betul kehidupanku di rantau yang serba pas-pasan, perasaannya tentu akan lebih tenang jika aku berada di dekatnya.
Ini bukanlah keputusan yang mudah, memang benar kata orang bahwa Jogja adalah tempat magis yang punya daya tarik kenyamanan. bagaimanapun keadaanku aku senang tinggal disini, disini aku mendapat teman-teman baru dengan segala macam cerita yang tidak akan aku dapatkan jika aku hanya berdiam di Papua. Segala titik kenangan yang tercipta selama 7 tahun ini membuatku semakin sulit untuk pergi. Tapi, sepertinya pulang adalah keputusan terbaik, kegagalan di Jogja tidak boleh menghentikan langkahku, aku akan terus berjalan maju. Dan semua cerita tentang Jogja akan selalu ku bawa karena di sini aku mendapat banyak pengalaman tentang kehidupan.
Kumatikan rokok ku, kemudian berjalan masuk ke delam kamar.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H