Dedi Mulyadi. Khususnya grup Facebook yang saya kelola bersama tiga teman lainnya.
Satu hari lalu saya menerbitkan tulisan opini dengan judul "Mengelola Grup Facebook Fans KDM" Isinya tentang data-data digital perkembangan interaksi netizen di sosial media tentang KangUsai tulisan itu terbit. Tidak lama berselang, seorang teman saya di Facebook memberikan tanggapan. Sebenarnya dia bukan saja teman. Lebih dekat dari sekedar teman. Dia merupakan junior saya (dalam arti usia masuk kampus) di salah satu Perguruan Tinggi swasta Kota Medan. Tepatnya di Fakultas Teknik Industri, Program Studi Teknik Mesin. Meskipun saat ini nasib kampus itu telah ditutup Kementerian Nadiem Makarim. Kami tetaplah satu almamater.
Nama sahabat saya di Facebook Fanji Ahmad Hakiki Daulay. Saya panggil saja Bung Daulay. Agar anak Medan nya sedikit lebih kontras.
Walau kami sama-sama dari Fakultas Teknik, tetapi memiliki ketertarikan pada isu-isu politik. Hal itu bisa jadi karena saat masih aktif di bangku kuliah, saya dang Bung Daulay sama-sama aktif pula di organisasi Kemahasiswaan.
Tanggapan Bung Daulay di kolom komentar berada pada urutan ke tujuh. Esensi komentar Bung Daulay sebenarnya penegasan bahwa peran kapitalisasi influencer dan milenial sangat penting dalam meningkatkan popularitas Ganjar Pranowo. Menurutnya apa yang saya tulis dalam opini tentang netizen dan Kang Dedi Mulyadi, telah dilakukan Ganjar Pranowo sejak dua tahun lalu.
Komentar lengkap seperti ini. "Kapitalisasi dari influencer itu sangat penting, lalu face to face kaum milenial (komunitas mahasiswa) Ganjar sejak 2 tahun lalu sudah lakukan ini"
Memang, saya tidak mengajak Bung Daulay untuk diskusi lebih dalam. Tetapi saya membalas dengan penjabaran bernada informatif dengan muatan metaphor sekaligus humor. Balasan saya seperti ini. "Siap. Dan bagian dari situ pula, cuma membelah diri seperti Amuba berkembang biak" Â lalu komentar saya tutup dengan kode tertawa.
Saling balas komentar berjalan semakin jauh dan penuh tawa. Tetapi yang ingin saya sampaikan tentang Amuba ialah sifat gerakan itu sendiri. Yaitu membelah diri untuk membangun partisipasi baru dalam demokrasi. Sebab bagai saya, esensi demokrasi adalah soal partisipasi bukan mobilisasi.
Berada pada poros diskusi digital Ganjar Pranowo sudah bagian tidak terpisahkan dari jejak digital saya. Bahkan jauh sebelum Ganjar Pranowo. Sejak tahun 2013, lewat kemunculan Joko Widodo saya bersama teman-teman sudah terlibat aktif di media sosial. Media sosial sebagai alat kapitalisasi isu, sekaligus media penghubung dengan teman-teman dalam momentum politik telah kami gunakan. Saat itu kehadiran Joko Widodo menjadi inspirasi baru bagi banyak kelompok melek politik.
Kehadiran Joko Widodo, memberikan energi baru dalam mendorong partisipasi publik dalam politik. Khususnya saat pemilihan Presiden. Sekaligus upaya memulai "pembunuhan" terhadap terminologi politik klan "darah biru" dan "anak kost" dalam partai berlabel demokrasi.
Pertanyaannya mungkin begini. Lalu kenapa pembelahan diri sebagaimana sifat Amuba memilih keluar dari kapitalisasi digital figur Ganjar Pranowo lalu memilih Kang Dedi Mulyadi?
Jawaban sederhananya begini. Saat ini Ganjar Pranowo telah berada pada posisi "dikerumuni" banyak pemain mobilisasi. Bukan penggerak partisipasi. Menurut saya, di belakang nama Ganjar Pranowo telah berdiri lingkaran pemain mobilisator yang memiliki agenda politis bisa jadi pragmatis.