Bharada E atau Rizhard Eliezer resmi divonis 1,5 tahun hukuman penjara. Publik pun menyambut dengam riang gembira, karena dianggap wujud dari keadilan publik. Dimana Eliezer dianggap telah berjasa membongkar skenario busuk pembunuhan Brigadir Joshua tersebut. Dengan menjadi Justice Collaborator ia telah merubah status dirinya dari "sang pembunuh" menjadi "juru selamat".
Namun, suka cita itu sekiranya perlu didekonstruksi ulang, terlebih dengan tidak melupakan fakta bahwa Eliezer ialah orang yang menembak Joshua. Dengan kata lain dia lah kunci dari kematian Joshua. Masyarakat seolah mewajarkan tindakan kriminal yang dilakukan Eliezer, hanya karena ia berkata jujur membongkar skenario busuk atasannya "Sambo". Kejahatan Eliezer seolah menjadi "banal" dan ia menjadi pahlawan yang disambut suka cita, bahkan dukungan terhadapnya menggema di ruang sidang dan sosial media.
Fenomena ini identik dengan reportase Hannah Arendt dalam persidangan Adolf Eichman yang diadili atas kejahatannya selama perang dunia II. Tepatnya peristiwa holocaust, dimana Eichman terlibat dalam pembantaian orang-orang Yahudi di kamp konsentrasi Nazi. Dalam reportasenya yang berjudul "Eichman in Jerussalem : A Report on the Banality of Evil (1963)". Arendt berpandangan bahwa kejahatan yang dilakukan Eichman bukan dikarenakan fanatisme atas Nazi maupun kebencian pada orang-orang Yahudi, melainkan dasar kepatuhan atas perintah yang diberikan kepadanya. Eichman hanya seorang warga negara yang patuh hukum, serta seorang bawahan yang patuh perintah atasannya. Namun, kepatuhan tersebut berujung pada "banality of evil".
Banality of evil (banalitas kejahatan) adalah sebuah konsep yang pertama kali diperkenalkan oleh filosof Jerman, Hannah Arendt. Konsep ini merujuk pada fakta bahwa kejahatan yang dilakukan oleh manusia seringkali tidak dilakukan oleh orang jahat yang sadar bahwa mereka melakukan kejahatan, tetapi oleh orang biasa yang secara naif atau terpaksa melakukannya dalam konteks keadaan tertentu.
Menurut Arendt, banalitas kejahatan terjadi ketika orang melakukan tindakan kejahatan dalam sebuah sistem yang mengabaikan nilai-nilai moral, dan ketika orang tersebut mengabaikan tanggung jawab pribadi mereka dalam tindakan tersebut. Dalam situasi seperti ini, kejahatan bukanlah hasil dari kejahatan individu yang sadar, tetapi hasil dari kepatuhan terhadap norma-norma dan tuntutan sosial yang dianggap lazim, meskipun tindakan tersebut sebenarnya melanggar prinsip-prinsip moral yang mendasar.
Dalam konteks sosial dan politik, banalitas kejahatan sering kali terjadi ketika kekuasaan dan hierarki yang ada memungkinkan orang untuk mengabaikan etika dan moralitas demi mencapai tujuan-tujuan yang dianggap penting. Sebagai contoh, hal ini dapat terlihat dalam kasus-kasus korupsi, penyalahgunaan kekuasaan, atau tindakan kekerasan terhadap kelompok minoritas, dimana pelaku kejahatan tidak selalu sadar bahwa tindakan mereka melanggar nilai-nilai moral yang mendasar.
Kepatuhan Eichman terhadap perintah membantai orang-orang Yahudi pada perang dunia II hampir sama dengan kepatuhan Eliezer terhadap perintah Sambo untuk menembak Joshua. Kepatuhan tersebut berujung pada sikap membenarkan atau mewajarkan suatu kejahatan. Kesamaan Eichman dan Eliezer ialah pada fakta bahwa mereka tunduk di bawah suatu otoritas. Sifat tunduk pada otoritas ini dapat menjadi awak mula karakter totaliter individu, suatu institusi, atau bahkan negara sekalipun. Dimana tidak ada demarkasi yang tegas terhadap tindakan yang didasari moral pribadi dengan tindakan patuh terhadap hukum. Tidak lagi merujuk pada nurani dan moral, melainkan hanya merujuk otoritas yang memerintah.
Kepatuhan total merupakan benih subur dari banality of evil. Berbicara mengenai kepatuhan, Erich Fromm, seorang psikoanalis dan filsuf sosial terkenal, mengembangkan konsep "dikotomi kepatuhan" untuk menjelaskan pola perilaku manusia yang berbeda dalam hal patuh atau tidak patuh terhadap otoritas.
Menurut Fromm, ada dua jenis kepatuhan yang berbeda, yaitu kepatuhan positif dan kepatuhan negatif. Kepatuhan positif adalah ketika seseorang memilih untuk mengikuti aturan atau otoritas karena ia merasa bahwa itu adalah hal yang benar atau bermanfaat. Kepatuhan positif didasarkan pada pengalaman pribadi dan nilai-nilai pribadi yang seseorang miliki.
Di sisi lain, kepatuhan negatif adalah ketika seseorang mengikuti aturan atau otoritas tanpa pertimbangan rasional atau nilai-nilai pribadi. Kepatuhan negatif didasarkan pada rasa takut atau ancaman, seperti ketakutan akan hukuman atau ketakutan akan kehilangan pekerjaan.
Ketika kita menyandingkan konsep banality of evil Hannah Arendt dengan dikotomi kepatuhan Erich Fromm, maka dapat dilihat bahwa akar dari banality of evil ialah kepatuhan negatif. Dimana kepatuhan negatif inilah yang menjadi landasan pengambilan keputusan baik bagi Eichman maupun Eliezer yang telah kabur pandangannya dari pertimbangan nurani dan moralitas.