Mohon tunggu...
Satrio Nurbantara
Satrio Nurbantara Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Salah satu Mahasiswa yang hobi menatap isu sosial dan mengisi kegabutannya dengan menulis.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Wibawa Palsu Akademisi Joki

9 Maret 2023   21:20 Diperbarui: 9 Maret 2023   21:33 214
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Joki skripsi telah menjadi hal lumrah di kalangan mahasiswa. Mudah sekali menemukan pamflet-pamflet jasa joki tugas apa saja, mulai dari tugas makalah, skripsi,bahkan artikel ilmiah dari kualitas biasa sampai level scopus. Fenomena ini merupakan penodaan akademis yang menjadi hal lumrah kalangan mahasiswa.

Joki gelar akademis adalah praktik yang tidak etis di mana seseorang membayar orang lain untuk menulis tugas atau disertasi untuk mereka, sehingga memungkinkan mereka untuk memperoleh gelar akademis tanpa melakukan pekerjaan intelektual yang diperlukan untuk memperolehnya.

Fenomena ini terjadi di seluruh dunia, terutama di negara-negara dengan pendidikan tinggi yang sangat dihargai, seperti Amerika Serikat, Inggris, Australia, dan Kanada. Hal ini sering dilakukan oleh mahasiswa pascasarjana yang membutuhkan tugas akhir atau disertasi untuk memperoleh gelar.

Banyak yang memakai jasa joki untuk menulis tugas akhirnya baik di strata 1, 2 bahkan 3. Akhirnya dia lulus dan dapat gelar kesarjanaan dengan cara seperti itu. Ada juga yang memakai joki untuk menulis artikel jurnal dan ada yang rela keluar uang puluhan juta agar tulisan tak bermutunya dimuat di jurnal internasional terindeks scopus. Akhirnya dia bisa naik pangkat dan bahkan jadi profesor dengan cara seperti itu.

Tidak sedikit pula terdengar tokoh yang membayar puluhan juta demi mendapat honoris causa, gelar kehormatan yang ternyata bisa dibeli di negeri ini.

Joki gelar adalah sebuah fenomena di mana seseorang membayar orang lain untuk mengambil ujian atau ujian akademik mereka dan menerima gelar akademik tanpa benar-benar memperolehnya melalui pendidikan yang sebenarnya. Fenomena ini telah menjadi kontroversial karena menyebabkan hilangnya integritas dan kepercayaan dalam sistem pendidikan serta menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar.

Fenomena ini menimbulkan kerugian banyak pihak, diantaranya;

1.Merugikan nilai-nilai pendidikan: Dengan membayar orang lain untuk mengambil ujian atau ujian akademik mereka, orang tersebut tidak mendapatkan nilai-nilai yang diperoleh dari pendidikan. Sebagai hasilnya, nilai-nilai seperti kerja keras, kegigihan, dan dedikasi tidak dihargai dan kemungkinan menjadi kurang penting dalam masyarakat.

2.Merugikan kepercayaan dan integritas sistem pendidikan: Dengan adanya praktik joki gelar, masyarakat menjadi tidak percaya pada sistem pendidikan yang seharusnya mendorong kejujuran dan integritas. Jika orang dapat memperoleh gelar akademik tanpa melakukan pekerjaan yang diperlukan, itu akan menciptakan kecurangan dan merusak kepercayaan dalam sistem pendidikan.

3.Menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar: Karena joki gelar biasanya memerlukan biaya yang cukup besar, hanya orang yang memiliki sumber daya keuangan yang memadai yang dapat memperoleh gelar akademik mereka dengan cara ini. Hal ini akan menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar di antara mereka yang memiliki akses ke sumber daya finansial dan mereka yang tidak.

4.Merugikan reputasi lulusan yang sebenarnya: Lulusan yang sebenarnya, yang telah memperoleh gelar mereka melalui kerja keras dan dedikasi, dapat merasa dirugikan oleh praktik joki gelar. Reputasi lulusan dan institusi pendidikan dapat tercemar oleh tindakan mereka yang memperoleh gelar tanpa melalui pendidikan yang sebenarnya.

Dalam kesimpulannya, joki gelar merugikan nilai-nilai pendidikan, kepercayaan dan integritas sistem pendidikan, serta menciptakan kesenjangan sosial dan ekonomi yang lebih besar. Oleh karena itu, tindakan ini harus dilarang dan ditekan oleh institusi pendidikan dan otoritas yang berwenang.

Setelah dapat gelar dan atau dapat jabatan, dia sadar bahwa tulisannya tak ada yang merujuk, tak ada juga yang betul-betul mengakui keilmuannya, tapi dia butuh pengakuan semacam itu. Akhirnya dia suruh mahasiswanya mengutip tulisannya, dia suruh orang mengklik link jurnalnya, dia suruh bawahannya memviralkan agendanya. Yang disuruh pun takkan melakukannya andai tidak disuruh.

Begitulah kalau kewibawaan didapat dari sebuah kepalsuan. Wibawanya harus diusahakan dan dipaksakan, bukan wibawa keilmuan yang betul-betul tumbuh secara natural dalam hati masyarakat.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun