Perjalanan sejarah kadang-kadang menempatkan sebuah bangsa di posisi penting dan kunci, bahkan ketika bangsa itu tidak menyadarinya. Itulah yang dialami Indonesia di bawah Presiden Joko Widodo.Â
Tanpa disadari banyak kalangan di dalam negeri, Indonesia seolah-olah "disuguhi" peluang apik untuk berperan besar dalam percaturan global.
Presiden Jokowi akan berkunjung ke Roma, menghadiri penutupan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 di ibukota Italia itu pada 30-31 Oktober 2021. Kunjungan Jokowi adalah untuk menerima "tongkat" estafet Presidensi G20, yang tahun ini dipegang Italia. Ini adalah momen yang krusial.
Di tengah pandemi Covid-19 yang belum sepenuhnya pulih, serta ekonomi yang baru pelan-pelan bangkit, Indonesia mendapat kepercayaan dari negara-negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia, untuk memegang Presidensi G20.Â
G20 beranggotakan antara lain: AS, China, Rusia, Jerman, Inggris, Prancis, Italia, India, Jepang, dan Uni Eropa.
G20 adalah forum ekonomi global, yang awalnya dibentuk sebagai respons terhadap krisis ekonomi 1997-1998. G20 beranggotakan 20 negara, yaitu 19 negara utama penggerak ekonomi dunia --termasuk Indonesia-- ditambah perwakilan Uni Eropa, yang memiliki produk domestik bruto (PDB) terbesar di dunia.
G20 berkontribusi 85% dari PDB dunia, 75% perdagangan internasional, dan 80% investasi global. Populasi anggota G20 mencakup 2/3 dari penduduk dunia.Â
Maka setiap langkah yang diambil G20 punya arti strategis. Kehadiran Indonesia di dalam G20 sering dipandang sebagai mewakili aspirasi dan pandangan negara-negara berkembang.
Mulai 1 Desember 2021 hingga 31 November 2022, Indonesia akan menjadi tuan rumah Presidensi G20. Rencananya, akan ada 150 pertemuan selama periode tersebut. Mulai dari pertemuan working group tingkat Sherpa, finance, sampai deputy.
Ujungnya adalah KTT G20, yang akan dihadiri oleh seluruh kepala negara dan kepala pemerintahan. Jumlah delegasi berbagai pertemuan itu sekitar 500 sampai 5.800 orang, dan ini adalah event sepanjang tahun.