Inggris, seringkali disebut sebagai negara penemu sepakbola. Sebuah hal yang agung mengingat sepakbola adalah olahraga paling digemari di dunia.
Inggris pun seringkali dicemooh lebih daripada negara lain bila performa timnas mereka di pentas internasional anjlok. Klaim sebagai inventor malah jadi beban tak perlu bagi negeri Ratu Elizabeth dan para pegiat sepakbolanya.
Generasi emas inggris dipenuhi ikon-ikon sepakbola macam Gerrard, Beckham, Scholes, Rooney, Lampard, Ferdinand tidak serta merta membawa kejayaan.
Di Piala Dunia, Inggris terombang-ambing di perempat final, perempat final lagi , kemudian tidak lolos fase grup pada tahun 2014. Di Piala Eropa, Inggris bahkan tidak ikut serta dalam perhelatan pada tahun 2008.
Pola yang berulang (trengginas di babak kualifikasi namun melempem di turnamen sesungguhnya) ini telah membuat semua orang pesimis pada Inggris, walau jajaran starting eleven hingga ke bangku cadangannya diisi para pemain yang membuat negara lain iri.
Pada tahun 2018, Inggris datang ke piala dunia dipimpin seorang pelatih yang minim pengalaman serta pemain-pemain belia.
Kombinasi kegagalan masa lalu ditambah nama-nama yang relatif baru mengurangi ekspektasi dari publik Inggris.
Hasilnya, Inggris berhasil lolos ke semifinal, Unggul lebih dulu, sebelum nervous dan kecerobohan lini belakang membuat mereka harus mengubur mimpi membawa pulang trofi piala dunia ke rumah. ingat slogannya? Football is coming home.
Kepahitan turnamen itu nyatanya berbuah perubahan yang membuat sepakbola inggris naik satu tingkat.
Ternyata, resep yang selama ini terlewatkan, Kepingan yang hilang, dan obat dari tiap kegagalan itu adalah pembinaan usia muda.Â
Jadon Sancho meninggalkan Man City dan bersinar terang bersama Dortmund. keberhasilan ini membuat Dortmund membuat gerakan Sancho Shift 2Â dengan memboyong Jude Bellingham.
kedua Pemuda itu kini menjadi langganan Starter. Nama terakhir memulai debutnya di Timnas Senior bulan lalu, pada usia 17 tahun.
Phil Foden telah menggema namanya sejak beberapa tahun lalu. Stockport Iniesta adalah sebutan publik pada Gelandang Manchester City ini. Bukan hanya bualan media, Foden bermain seperti Iniesta, namun ia lebih muda, lebih cepat, dan kaki kiri yang luar biasa.
Marcus Rashford, yang sudah masuk skuad pada gelaran piala dunia terakhir itu kini telah menjelma jadi standard bearer di Manchester United. Bersama Bruno Fernandes, ia membawa Setan merah menduduki peringkat kedua klasemen Liga Inggris.
Inggris nyatanya tidak pernah kekurangan talenta. Persaingan yang ketat membuat para youngster sulit berkembang dan mencapai potensi maksimal.
Terinspirasi keberhasilan Dortmund, Real Madrid, Barca, hingga Bayern Munich kini memperkuat Scouting di Inggris Raya.
Klub-klub Lokal pun kini lebih berani mengambil resiko dengan memberi menit bermain pada para pemain muda potensial. Beberapa diantara mereka adalah Bukayo Saka (Arsenal), Tariq Lamptey (Brighton), dan Trent Alexander Arnold (Liverpool)
Qatar 2022 sudah kiat dekat. Inggris yang kian naik performanya masih terus berbenah. Gareth Southgate mungkin kini tengah garuk-garuk kepala. Bingung menentukan 22 nama yang akan ia bawa dalam perjuangan memenangkan piala dunia.
Penjaga gawang ada Dean Henderson yang memukau, walau Pickford lebih berpengalaman. Haruskah Kieran Trippier disisihkan untuk memberi ruang pada kreativitas luar biasa Trent Alexander Arnold? Kecerdikan Jadon Sancho juga sulit dikesampingkan, lantas harus dimana Jack Grealish ditempatkan?
Sekarang talenta tidak lagi jadi soal. Seperti sebuah Orkestra, tiap musisi yang ikut serta adalah orang-orang terbaik yang sudah tidak perlu lagi diragukan kualitas individunya.
Lantas, bagaimana sang konduktor memadupadankan tiap bakat yang ada?Â
Dear Gareth Southgate, Please Jangan kecewakan publik inggris lagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H