Belakang muncul kabar tidak enak bagi teman kita, Ahmadiyah. Kabar itu beredar seperti sirine genderang perang yang terus ditabuh tanpa henti. Penggalan Sholawat Asnawiyah 'aman-aman, Indonesia Raya Aman' seakan-akan tidak berlaku bagi teman-teman Ahmadiyah. Jemaah Ahmadiyah Indonesia terpaksa membatalkan kegiatan Jalsah Salanah yang rencananya akan digelar di Kuningan pada 6-8 Desember 2024.
Alih-alih mempersilahkan dan memberi rasa aman dalam rangka solidaritas kemanusiaan, masyarakat sipil Kuningan justru melayangkan penolakan terhadap kegiatan yang akan digelar oleh Ahmadiyah. Segelintir alasan pun muncul dari kelompok penolak yang tergabung dalam Forkopimda (Forum Komunikasi Pimpinan Daerah) Kuningan. Salah alasanya ialah menjaga kondusifitas. Bahkan, penolakan tersebut diresmikan oleh pimpinan daerah, PJ Bupati Kuningan, Agus Toyib.
Hampir satu abad berdiri, Jemaah Ahmadiyah Indonesia menapaki jalanan yang tak semulus kelompok-kelompok Islam lainnya (Zulkarnain, 2005). Umat Islam arus utama menganggap Ahmadiyah sebagai sesat dan bahkan disesatkan pula oleh otoritas ke-ulamaan, MUI. Fatwa sesat yang dilayangkan MUI dilakukan pertama kali pada tahun 1980 dan kemudian pada tahun 2006. Melalui dua fatwa ini gerakan anti-ahmadiyah pun semakin kuat dan gencar, bahkan tak jarang mereka menggunakan cara-cara kekerasan untuk membubarkan Jemaah Ahmadiyah Indonesia.
Bahkan hal itu diperkeruh dengan SKB (Surat Keputusan Bersama) Menteri Agama, Menteri Dalam Negeri dan Jaksa Agung pada 9 Juni 2008 yang berisi pelarangan kegiatan Ahmadiyah di Indonesia. Tak lain tak bukan, rujukan SKB ini ialah UU PNPS 1965 yang dinilai melanggar konstitusi dalam hal menjamin warga negara untuk beribadah dan berkeyakinan sesuai nuraninya (Margiyono, dkk., 2010).
Di sisi yang lain, Gus Dur dalam suatu kesempatan pernah memberi izin untuk mengkampayekan Ahmadiyah sebagai aliran yang salah. Akan tetapi, beliau menambahkan bahwa jika membubarkan Ahmadiyah itu sangat jelas melanggar konstitusi.
Mangan Ora Mangan Penting Kumpul?
Tak diragukan lagi, jika kita memahami fenomena itu menggunakan teropong toleransi dan hak-hak warga negara dalam hal beribadah dan berkeyakinan maka akan sangat jelas-jelas melanggar. Namun, kita akan memotret pada teropong yang berbeda.
Adagium "mangan ora mangan, sing penting kumpul" terasa tak asing di telinga kita menggema. Prinsip berkumpul, berkelompok dan berserikat begitu digemakan oleh masyarakat kita tanpa memperhitungkan akan ada hidangan apa, ada honornya atau tidak. Sehingga banyak tervisualisasi dengan jelas bahwa hampir seluruh lapisan masyarakat memiliki kegiatan yang bersifat kolektif.
Pelucutan identitas latar belakang menjadi hal wajib dalam mengusung adagium ini. Soalnya, adagium yang katanya telah menjadi filosofi jawa ini tidak diartikan sebagai kumpul-kumpul biasa, menyoal tanpa arah, adalah untuk menjalin rasa persaudaraan. Musykil rasanya ketika kita masih membawa embel-embel latar belakang kita dengan begitu fanatiknya tetapi ingin menjalin persaudaraan dengan indiividu lainnya. Ego kedirian perlu dihapus, jalinan kasih dalam perkumpulan perlu dipererat, uluran tangan dan tiupan doa perlu dikuatkan.
Walaupun adagium ini sering kali dikaitkan dengan masyarakat Jawa, namun hemat saya ini telah melebar dan meluas hingga diterima, dipahami dan digunakan oleh masyarakat Indonesia. Pasalnya, ujar-ujar ini banyak dibicarakan pula di kanal-kanal media sosial seperti Tiktok dan Instagram dengan begitu meriahnya. Banyak anak muda menggunakan adagium ini di dalam caption-caption postingan mereka atau sekadar ditambahkan di tengah-tengah angle foto yang sedemikian estetiknya.
Jika dibedah, makna kata 'mangan' yang berarti makan memiliki dimensi personal yang berada pada privasi seseorang. Artinya, mengenai aktivitas makan, makanan apa yang menjadi favorit, tidak dapat diganggu oleh orang lain. Sedangkan kata 'kumpul' yang kita ketahui secara eksplisit memuat unsur sosial adalah penelanjangan identitas kedirian seseorang. Mengedepankan kepentingan bersama. Sehingga antara 'mangan' dan 'kumpul' berada pada dua kutub yang berbeda sama sekali.