Mohon tunggu...
Satrio Dwi Haryono
Satrio Dwi Haryono Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh

Penikmat kajian, Gender, Filsafat, dan Keislaman

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Fikih Kesetaraan ala Ali Asghar Engineer

2 Mei 2024   16:49 Diperbarui: 2 Mei 2024   16:51 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Seperti yang termaktub dalam surat an-Nisa ayat 3 yang popular, yang dianggap mengafirmasi bolehnya berpoligami. Ayat tersebut tidak lepas dari bidikan Asghar. Pentingnya untuk menelaah kondisi sosio-historis kala itu ditekankan lagi dalam mengkaji ayat populer tersebut.

Menurut Asghar, pembolehan yang sifatnya sangat terbatas ini banyak dipahami sebagai pembolehan yang bersifat umum dan dapat dilakukan dalam situasi apapun (Asghar, 2007:237). Ayat kontekstual ini penuh dengan pertimbangan ketat dalam pemenuhan syarat berpoligami. Berlaku adil terhadap janda, perempuan dan anak yatim menjadi variabel di dalamnya. Ditambah pula konteks sejarah yang memuat fakta banyaknya janda dan anak yatim paska peperangan.

Serta konteks budaya suku Quraisy yang masih memberlakukan puluhan orang isteri terhadap satu suami. Prinsip poligami seharusnya dibaca sebagai spirit pembatasan, bukan pelonggaran.

Dalam kasus serupa, semasa pemerintahan Zia al-Haq negara Pakistan mulai memberlakukan hukum Islam. Melalui Dewan Ideologi Islam yang dibentuknya, hukum negara direkonstruksi ulang dan diberlakukannya hukum Islam. Namun, pemberlakuan hukum Islam di sini bukan hukum Islam yang lahir pada konteks zaman sekarang, namun hukum Islam yang lahir dalam konteks zaman dahulu yang tentunya berbeda dengan konteks zaman sekarang. Sehingga dalam implementasinya perempuan tidak memiliki ruang yang begitu bebas dalam ranah pendidikan, politik, sosial dan publik. Asghar mengecam hal tersebut. Bagi Asghar, pemerintah tidak mengetahui secara mendalam bahwa hukum Islam dahulu pun memiliki banyak sekali pandangan yang variatif. Tidak semuanya menolak dan mengesampingkan perempuan secara ketat.

Sistem Warisan

Pada masa pra Islam, perempuan tidak memiliki hak waris sama sekali, malahan perempuan menjadi komoditas, sehingga perempuan sendiri dapat diwariskan. Setelah turunya ayat tentang hukum waris maka terjadi pergeseran hukum yang berlaku pada masa itu. Perempuan dapat mewarisi sesuatu dan dapat mewariskan sesuatu (Asghar, 2007:238).

Perihal hanya separuh dari laki-laki bukan berarti perempuan lebih rendah dibanding laki-laki (Asghar, 2000:107). Karena persoalan ekonomi selalu berkaitan dengan peran dan struktur sosial-ekonomi. Telah menjadi prinsip bahwa perempuan wajib dinafkahi oleh laki-laki. Perempuan pun tidak diwajibkan untuk membelanjakan hartanya dan sudah menjadi haknya jika isteri menuntut nafkah dari suami.

Tantangan cukup berat terhadap metode yang ditawarkan oleh Asghar ini. Pasalnya, kebanyakan para ulama dan umat Islam kurang tepat dalam membaca ayat normatif. Sehingga generalisasi ayat normatif tidak dapat terbendung. Juga, setiap ayat dipandang sebagai ayat normatif serta sakral. Implikasi dari sakralisasi ayat Qur`an akan mengakibatkan pembacaan yang tekstualis. Menutup berbagai kemungkinan untuk pengkajian ulang atas teks suci. Meminjam perkataan Arkoun "pembacaan ulang atas teks dengan pandangan ilmiah sekalipun tidak akan mengurangi sakralitas al-Qur`an sama sekali. Justru akan membawa pada pandangan-pandangan yang merujuk pada visi Qur`an sebagai petunjuk bagi suluruh umat manusia."

Lebih lanjut, pemikiran Asghar Engineer di sisi lain berhasil mentransformasikan ide pemikiran teologis yang bercorak melangit menjadi 'membumi'. Dalam artian ide-ide ketuhanan ditarik pada ranah bumi untuk menjawab persoalan-persoalan kemanusiaan. Konsep ini dinamakan 'teologi pembebasan'.

Baginya, keabstrakan ide teologis tidak hanya mempersoalkan keyakinan melainkan harus menyentuk ranah kenyataan. Pada awalnya persoalan teologis menyentuk ranah sosial-politik maka hari ini pun seyogyanya memiliki nafas yang serupa. Hal ini dihadirkan dalam rangka meneguhkan kembali kemanusiaaan dengan mengkritisi otoritas penguasa, baik dalam ranah otoritas politik, keagaaman dan lain sebagainya dengan mempertimbangkan nafas-nafas kemanusiaan.

Referensi

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun