Mohon tunggu...
satria winarah
satria winarah Mohon Tunggu... Programmer - yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya

Seorang programmer yang membagi hatinya dengan sastra, sejarah, dan militer

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Babad Sunda: Tarusbawa (669-723 M)

19 Mei 2021   08:00 Diperbarui: 19 Mei 2021   08:10 4867
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerajaan Sunda adalah sebuah kerajaan yang melanjutkan Kerajaan Tarumanegara yang sudah semakin melemah. Kerajaan Sunda pertama kali didirikan oleh Maharaja Tarusbawa pada 669 M, dan berakhir setelah meninggalnya Prabu Geusan Ulun pada 1610 M. Itu artinya Kerajaan Sunda sudah eksis di Nusantara selama 941 tahun. Tercatat sebagai sebuah kerajaan yang mampu bertahan paling lama di Nusantara.

Wilayah Kerajaan Sunda meneruskan wilayah Kerajaan Tarumanegara, yang menguasai seluruh wilayah Jawa Barat, Banten, Jakarta, dan sebagian Jawa Tengah. Dalam kurun waktu 941 tahun itu, tak ada pertambahan wilayah yang signifikan, begitu pula tak ada pengurangan yang signifikan. Hal itu menunjukkan kestabilan politik di Kerajaan Sunda. Tak heran kerajaan tersebut mampu bertahan dalam waktu yang sangat lama.

Saking lama dan melekatnya identitas Kerajaan Sunda pada wilayah yang sekarang kita kenal sebagai Pasundan ini, istilah Sunda kita gunakan untuk menyebut etnis dan budaya yang berada di wilayah Tatar Pasundan tersebut.

Adapun sejarah Kerajaan Sunda dari awal pendiriannya hingga akhir kisahnya, akan diceritakan secara runtut berdasarkan urutan raja-rajanya. Tapi yang perlu dicatat sejak awal adalah, sejarah Kerajaan Sunda jarang memiliki titik momen penting, sebagaimana yang kita dapati jika mempelajari sejarah kerajaan di sebelah timur pulau Jawa. Kerajaan Sunda dapat dianggap sangat tenang, damai, dan sentosa. Tak pernah menyerang, tak pernah diserang, tak ada pemberontakan. Sehingga tidak ada pergolakan yang memicu pengabadian dalam prasasti atau kitab.

Keunikan dari Kerajaan Sunda yang bercorak Hindu-Budha ini adalah, di Kerajaan yang sudah berlangsung selama hampir seribu tahun ini sangat jarang ditemukan candi. Hal ini membuat para ahli menduga bahwa tak semua raja Sunda menganut Hindu-Budha. Ada raja Sunda atau sebagian besar komunitas masyarakat Sunda kala itu yang menganut Agama Sunda Wiwitan. Oleh karena itulah hanya sedikit candi yang ditemukan di Tatar Pasundan.

Dengan menyaksikan kisah-kisah raja-raja Sunda ini, kita juga akan melihat bahwa Kerajaan Sunda ini kerap kali berganti ibukota beberapa kali, seiring dengan siapa yang sedang berkuasa.

Tarusbawa (669 - 723 M)

Maharaja Tarusbawa adalah menantu Maharaja Linggawarman, Raja Tarumanegara terakhir. Tarusbawa dilahirkan di Sundapura (Kota Sunda) yang terletak di wilayah Bekasi sekarang ini. Tarusbawa naik tahta menggantikan mertuanya sebagai penerus tahta Tarumanegara.

Tarusbawa dilantik sebagai Raja Sunda pada tanggal 9 bagian terang bulan Jesta taun 591 Saka (18 Mei 669 Masehi) dan beliau bergelar Sri Maharaja Tarusbawa Darmawaskita Manumanggalajaya Sundasembawa. Bersamaan dengan pelantikan tersebut, nama Kerajaan Tarumanegara diubah menjadi Kerajaan Sunda. Sayangnya perubahaan nama kerajaan ini menuai protes dari Wretikandayun, penguasa Kadipaten Galuh yang sudah berkuasa di Galuh sejak 612 M.

Dilihat dari lama masa berkuasanya Wretikandayun, kita bisa tahu bahwa Wretikandayun adalah seorang yang lebih tua daripada Tarusbawa. Tak heran, dia melakukan protes dan menuntut agar wilayah Tarumanegara dibelah dua saja dengan sungai Citarum sebagai pembatasnya. Karena menghindari perang saudara, Tarusbawa pun terpaksa memenuhi tuntutan itu. Sebab prinsip Tarusbawa adalah lebih baik memimpin setengah negara tangguh daripada harus memaksakan memimpin satu negara penuh dengan keadaan yang belum tentu.

Sejak saat itu Kerajaan Sunda dan Kerajaan Galuh berdiri masing-masing, sebagai penerus Kerajaan Tarumanegara. Tapi seperti buah pinang, keduanya tak bisa dipisahkan satu sama lain. Hubungan antar negara tetap baik dan tetap beraliansi. Sehingga dalam penyebutannya, kita sering menyebutnya dengan sebutan Kerajaan Sunda-Galuh. Salah satu bukti mengenai aliansi dan persahabatan ini adalah surat yang ditulis oleh Wretikandayun kepada Tarusbawa, sebagai berikut:

"Sejak sekarang, kami yang berada di wilayah sebelah timur Citarum tidak lagi tunduk di bawah kekuasaan Tarumanagara. Jadi tidak lagi mengakui Tuan (Pakanira) sebagai ratu. Tetapi hubungan persahabatan diantara kita tidak terputus, bahkan mudah-mudahan menjadi akrab," tulis surat Wretikandayun tercantum dalam Pustaka Nusantara III/1.

Setelah menjadi Raja yang sah, Tarusbawa memindahkan ibukota ke kota Pakuan (Bogor) dan beliau terus memerintah dari kota itu.

Di Pakuan Tarusbawa mendirikan sebuah istana yang disebut Sri Kadatwan Bima Punta Narayana Madura Suradipati atau yang dikenal juga dengan sebutan Panca Parsada. Setelah istana tersebut berdiri, Maharesi Bujangga Sedamanah pun memberkati istana tersebut.

Sebagaimana yang disebutkan di awal, permaisuri Tarusbawa ialah putri Linggawarman, yang bernama Manasih. Dan sampai disini, ada hal yang menarik.

Manasih memiliki adik yang bernama Sobakancana. Sobakancana menikah dengan Dapunta Hyang Sri Jayanasa, yang mendirikan Kerajaan Sriwijaya. Hal ini menunjukkan bahwa baik Kerajaan Sunda dan Kerajaan Sriwijaya, masing-masing rajanya adalah menantu Linggawarman dari Tarumanegara. Ini adalah sebuah pijakan yang kelak mempersaudarakan Sriwijaya dan Sunda.

Persaudaraan antara Sriwijaya dan Sunda termaktub dalam sebuah prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Sunda dan Melayu. Jalinan persahabatan dan persaudaraan ini kemudian disebut dengan istilah Mitra Pasamayan. Inti dari prasasti itu adalah agar Sriwijaya dan Sunda tidak saling menyerang.

Sebagai sesama menantu dari Linggawarman, Raja pertama Sunda dan Raja pertama Sriwijaya terus berhubungan akrab. Tapi suatu ketika Tarusbawa diuji dengan sebuah masalah yang rumit.

Suatu ketika Sri Jayanasa hendak mempersunting Ratu Shima dari Kerajaan Kalingga di Jawa Tengah. Tapi lamarannya ditolak. Hal itu membuat Sri Jayanasa meradang dan berencana menyerang Kerajaan Kalingga. Karena Kerajaan Kalingga merasa terancam, Kerajaan Kalingga pun segera beraliansi dengan Kerajaan Galuh. Aliansi pun terbentuk antara Ratu Shima dengan Wretikandayun, melalui pernikahan antara Parwati (Putri Ratu Shima) dengan Mandiminyak (Putra bungsu Wretikandayun).

Keadaan tersebut membuat Tarusbawa bingung harus memihak yang mana, sebab sekalipun Wretikandayun menolak mengakui dirinya sebagai Raja penerus Tarumanegara, Wretikandayun tetaplah sahabat Tarusbawa. Hal ini menunjukkan betapa mulianya hati Raja Tarusbawa itu. Akhirnya, sebisa mungkin Tarusbawa mencegah Sri Jayanasa melakukan peperangan.

Tarusbawa pun memberikan masukan kepada Sri Jayanasa. Mendapat masukan dari sahabat dan iparnya sendiri, Sri Jayanasa pun melunak dan mengurungkan niatnya menyerang Kalingga dan Galuh. Perdamaian pun berhasil dipertahankan.

Singkat cerita pada tahun 723 Masehi, Maharaja Tarusbawa meninggal dunia. Kekuasaan pun dilanjutkan oleh menantunya Harisdarma atau yang dikenal juga dengan sebutan Sanjaya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun