Mohon tunggu...
satria winarah
satria winarah Mohon Tunggu... Programmer - yang mengenal dirinya yang mengenal Tuhannya

Seorang programmer yang membagi hatinya dengan sastra, sejarah, dan militer

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Mawar-Mawar Berlumuran Darah

11 Maret 2014   20:59 Diperbarui: 24 Juni 2015   01:03 355
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mawar, sebuah bunga yang tampak begitu cantik, anggun, bahkan agung, tapi juga angkuh. Sebagaimana bunga yang lain, ia juga berasal dari sebuah bakal bunga yang tidak indah. Tapi seiring waktu, tahapan demi tahapan ia lalui hingga ia menjadi demikian cantik dan anggun. Hanya saja berbeda dengan bunga yang lain, sang mawar tidak mencukupi dirinya dengan kecantikan dan keanggunannya saja. Inilah yang membuatnya begitu istimewa...

Sang mawar memoles lagi dirinya dengan duri-duri yang tajam. Yang siap menggores daging siapapun yang mencoba menyentuhnya. Hingga selain cantik dan anggun, mawar juga agung karena kewibawaannya dibalik kecantikan itu. Bahkan tak sampai disitu. Dengan warna semerah darah, tangkai hijau ramping berduri, ia membuat dirinya terpandang sebagai yang angkuh. Angkuh terutama dengan kemerahan yang pekat itu.

Tapi dibalik semua itu, mawar tetaplah mawar...

Dibalik keagungan dan keangkuhannya, ia adalah bunga yang cantik dan anggun. Ia adalah bunga sebagaimana bunga yang lain. Ia adalah keindahan.

Keistimewaan mawar adalah karena, sekalipun ia cantik dan anggun, ia tidak mau dipandang sebagai yang cantik dan yang anggun. Ia ingin dipandang sebagai yang angkuh pula, demi tersembunyinya kecantikan itu. Subhanallah...

Jika bukan untuk Allah, untuk siapa lagi ia menyembunyikan kecantikannya dibalik keangkuhan? Sebagian manusia menyadari itu dan mulai memetiknya, memujinya. Tapi sang mawar tidak mau menyerahkan dirinya untuk manusia, hingga jemari manusia itu tergores oleh durinya, darahnya membasahi seluruh tangkainya. Jemari itu kembali tertarik dan enggan memetik.

Mawar-mawar berlumuran darah, takkan pernah dipetik. Ia tumbuh lalu jatuh dan mati. Dari tiada kembali ke tiada. Ia hanya menyerahkan dirinya, untuk Allah Subhanahu wa Ta’ala...

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun