"Universitas kita telah mencapai puncak kejayaan!" Rektor, Prof. Dr.  Dewi  Sari,  mendeklarasikan dengan penuh semangat di depan para dosen, matanya berbinar-binar seperti  berlian yang terkena cahaya lampu sorot.  Aura kekuasaan terpancar dari dirinya, membuat beberapa dosen tampak gugup dan hanya mengangguk setuju.
Â
Aula kampus senyap. Hanya Ardi, mahasiswa semester akhir jurusan Ilmu Komunikasi, yang menggaruk kepalanya dengan gelisah, matanya melirik ke kiri dan kanan, mencari teman seperjuangan yang mungkin memiliki pikiran serupa. Ia berusaha menahan tangannya agar tidak mengeluarkan suara kekecewaan.
Â
"Kejayaan ini," lanjut Prof. Dewi, "terbukti dari meningkatnya jumlah mahasiswa baru, meningkatnya pendanaan, dan meningkatnya peringkat kampus kita di tingkat nasional. Semua ini berkat kehebatan dan kebijaksanaan saya, selaku Rektor."
Â
Ardi menelan ludah, mencoba untuk tidak tertawa. "Meningkatnya jumlah mahasiswa baru karena biaya kuliah yang murah, Bu. Bukan karena kehebatan dan kebijakan Ibu." Batinnya, sambil mengunyah permen karet yang dibungkus plastik warna-warni.
Â
"Meningkatnya pendanaan? Jangan lupa, Bu, itu karena kita menerima bantuan dari yayasan donor yang ingin melegalkan perusahaan tambang batu bara di wilayah hutan konservasi di Kalimantan. Semoga saja kita tak ikut berdosa." Batin Ardi lagi, sambil memikirkan nasib para orangutan yang mungkin akan kehilangan rumahnya.
Â
"Meningkatnya peringkat nasional? Bu, perlu diketahui, peringkat itu diperoleh melalui survei yang meragukan kredibilitasnya. Lebih mirip survei untuk membanggakan diri sendiri daripada survei yang objektif," gerutu Ardi dalam hati. "Ke mana objektivitas dan integritas kita, Bu?"