Dalam konteks bisnis, uang yang dikeluarkan suatu perusahaan atau institusi untuk mentraktir makan siang serombongan wartawan mungkin tidak lebih dari sepuluh atau dua puluh juta rupiah – investasi yang mungkin cukup menguntungkan, mengingat seorang wartawan dapat menimbulkan kerugian milyaran rupiah baik secara image maupun materi, melalui berita negatif yang ditulisnya.
Dalam konteks politik, menyogok wartawan mungkin adalah strategi yang paling efisien bagi calon presiden untuk meningkatkan popularitasnya – daripada membuang milyaran rupiah mengiklan di televisi atau koran, mengapa tidak bayar saja wartawannya masing-masing, contohnya seorang Rp 50 juta rupiah, sehingga mereka menulis berita yang positif tentang sang capres?
“Satria, tolong lah, kita mau minta tolong sama kamu. Jakarta Post itu dibaca investor asing, jadi hati-hati dalam menulis. Kita punya harapan besar di media lokal, harus beda lah jangan seperti media-media asing,” kata salah satu pejabat di instansi pemerintahan saat dia menelepon saya.
Semua hal tersebut membuat saya bersyukur karena, di profesi ini, saya belajar untuk menjadi lebih dewasa. Di pekerjaan saya ini, saya benar-benar belajar prinsip yang dulu pernah diucapkan paman Peter Parker di film Spiderman: “With great power, comes great responsibility.”
Saya belajar bahwa di masa-masa sekarang ini -- dimana pemberitaan yang objektif menjadi langka dan netralitas media dipertanyakan karena hampir semuanya dikuasai oleh politisi -- integritas dan idealisme adalah hal yang sangat penting dimiliki seorang jurnalis dalam menulis dan menentukan arah pemberitaan koran setiap pagi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H