Mohon tunggu...
satriaputra nugraha
satriaputra nugraha Mohon Tunggu... -

basket & futsal

Selanjutnya

Tutup

Politik

Blusukan Dalam Sejarah: Dari Sambernyowo Sampai Jokowi

19 Juni 2014   20:47 Diperbarui: 20 Juni 2015   03:06 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pak Harto juga suka blusukan, terutama sekali di awal-awal kekuasaannya. Ia berkeliling di Jawa, kadang-kadang Suharto naik kuda besar Australia keliling sebuah desa. Di Kemusuk, kampung halaman Suharto sering melihat Pak Harto kalau pulang kampung dia berjalan-jalan dengan naik kuda besar. Di dalam salah satu biografi soal Pak Harto diceritakan Pak Harto blusukan ditemani Try Sutrisno. Yang terpenting dalam blusukan model Suharto ditemukan cara berkomunikasi dengan rakyat desa, bagi Suharto berkomunikasi dengan rakyat desa lewat Kelompencapir atau Paguyuban-Paguyuban Tani adalah cara lain dalam menandingi model komunikasi Sukarno yang amat jago berpidato di podium. Biasanya setelah bicara Suharto langsung melakukan blusukan, bagi pengeritik Suharto, kerap mengatai desa yang dimasuki Suharto adalah desa Potempkin, desa Potempkin adalah suatu istilah dari Rusia, bahwa desa itu diatur seperti memiliki kehidupan yang baik tapi sebenarnya dibaliknya tidak seperti itu. Namun apapun kritikan terhadap Suharto, faktanya memang Suharto suka blusukan.

Prabowo Subianto pernah mengatakan, salah satu modal utama seorang “caleg” adalah sepatu yang baik. Karena harus sering berjalan keliling bertemu warga. Apa yang disampaikan Prabowo diatas, pada dasar nya mengingatkan kepada kita bahwa untuk menjadi pemimpin publik yang baik, sangat dibutuhkan ada nya perjuangan untuk mau bertemu rakyat. Pemimpin yang baik adalah pemimpin dambaan rakyat. Itu sebab nya, mengapa Prabowo kurang menghargai pemimpin yang hanya duduk manis di belakang meja, tanpa memiliki kehendak untuk bersilaturahmi dengan rakyat.

Sebelum Jokowi tampil dengan blusukan nya, Prabowo Subianto sebetul nya telah lebih dulu “asruk-asrukan” ke segenap penjuru tanah air. Resiko menjadi Ketua Umum Himpunan Kerukunan Tani Indonesia, Prabowo memiliki kewajiban untuk turun ke pelosok-pelosok negeri guna mendengar, melihat dan merasakan secara langsung apa yang menjadi aspirasi kaum tani di negeri ini. Pimpinan Organisasi Petani bukanlah sosok yang hanya pandai pidato. Tidak juga sosok yang senang menutup diri. Pemimpin Organisasi Petani, mesti nya orang yang memiliki kedekatan dengan para petani. Bahkan banyak pihak yang berpendapat, sosok Pemimpin Petani adalah orang yang mempunyai talenta kuat dengan dunia petani.

Gerak langkah Prabowo Subianto bertemu dengan petani, memang kurang terpublikasikan di media massa. Maklum gaya Prabowo kalau ke lapangan, cukup ditemani dengan seorang juru foto dan jarang sekali membawa kru televisi yang lengkap, sebagaimana dilakukan oleh para tokoh yang butuh pencitraan. Prabowo lebih senang ngobrol santai dengan petani tanpa harus diatur oleh tata cara protokoler yang ketat. Akibat nya, setiap Prabowo ke daerah dan bertatap-muka dengan petani, ujung-ujung nya diakhiri dengan foto bersama. Ibu-ibu dan bapak-bapak tani terekam bangga dan bahagia jika dapat salaman dengan Prabowo. Anak muda pedesaan, terlihat begitu “sumringah” ketika dapat kesempatan untuk berfoto dengan Prabowo. Semua ini menggambarkan kepada publik, Prabowo benar-benar dicintai oleh petani.

Sering bertemu rakyat adalah sosok pemimpin yang diidamkan. Warga bangsa akan merasa senang jika pemimpin nya dapat berkunjung ke “pinggiran” Indonesia, dimana sebagian besar masyarakat nya hidup dalam kondisi yang memilukan. Rakyat juga akan bahagia jika kedatangan para pemimpin itu tidak dilengkapi dengan pengawalan dan pengamanan yang terlalu ketat. Rakyat akan kecewa jika pemimpin itu hanya sekedar melambaikan tangan dari kejauhan. Pemimpin sejati tidak cukup hanya mengumbar senyum bagi rakyat nya. Mengingat ketat nya pengawalan, jangankan untuk dapat foto bersama, sekedar untuk salaman pun rakyat sangat kesulitan mendapatkan nya.

Kini Blusukan sangat erat dikaitkan dengan Jokowi karena media terus-menerus meliputnya. Apakah ini hanya pencitraan? mungkin juga tidak karena mungkin ini salah satu metode yang dilakukan Jokowi. Namun apakah efektif? itu yang harus kita kritisi bersama. Pemimpin seperti Bung Karno dan Pak Harto jauh-jauh hari sudah melakukannya. Walaupun jarang diliput oleh media.

Anies Baswedan, pendiri gerakan turun tangan pernah berkata seperti ini. "Saya nggak mau pencitraan dengan blusukan. Bukan cuma mendengarkan tapi mengajak masyrakat berubah. Blusukan itu hanya nonton masyarakat. Hanya hadir, lalu kesannya sudah melakukan,"

Bagaimanapun masyarakat akan menilai dengan sendiri siapakah yang benar-benar tulus memimpin negeri ini ke depan. Kita patut memilih mereka sesuai hati nurani di 9 Juli 2014 mendatang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun