Mohon tunggu...
Satria Nurfajri
Satria Nurfajri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Ushuluddin dan Studi Agama UIN STS Jambi

Membaca adalah salah satu kewajiban mahasiswa, kemudian budaya berdiskusi harus terus tumbuh di lingkungan mahasiswa.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Sejarah Lahirnya Oksidentalisme

6 Juli 2024   02:21 Diperbarui: 6 Juli 2024   02:21 364
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://khazanah.republika.co.id

Kemunculan istilah oksidentalisme merupakan  respon atas maraknya westernisasi/eurosentrisme dan penilaian kaum orientalis yang memandang dunia Timur dalam posisi yang tidak seimbang. Oksidentalisme sudah dimulai sejak lahirnya peradaban Timur yang diwakilkan oleh peradaban islam selama 14 abad lebih.

Secara historis munculnya oksidentalisme berasal dari aktivitas ilmuwan muslim pada akhir periode Dinasti Umayyah dan awal hingga pertengahan Dinasti Abbasiyah, sekitar abad ke-8 hingga 12 M. Pada saat itu para ilmuwan muslim mulai tekun menerjemahkan dan mempelajari karya para filsuf Yunani. Artinya nalar, watak, keyakinan, kepercayaan orang-orang Eropa telah dipelajari dengan serius oleh orang-orang Timur.

Praktik oksidentalisme fase kedua muncul setelah terjadinya perang salib, yaitu ketika kesadaraan Islam sedang dalam pertikaian antara ego (Timur) yang berupaya mempertahankan diri dari the other (Barat) yang berupaya terus menyerang melalui orientalisme. Dalam fase oksidentalisme ini terjadi pertukaran potret the other dan ego. Fase oksidentalisme yang ketiga muncul pada akhir abad 7 H, ketika Ibnu Khaldun dalam Muqaddimah-nya menggambarkan tentang orang-orang Eropa, baik negara, sejarah dan sistem perkotaannya. Pengkajian Ibnu Khaldun terhadap Eropa ini sangat didukung oleh keberadaan Ibnu Khaldun di Maroko, sehingga memudahkan dia berhubungan dengan Eropa melalui Andalusia.

Kemudian pada  masa kolonialisme sudah bermunculan intelektual dan ulama Timur yang gigih mengkaji Barat. Pada umumnya mereka mengakui keunggulan Barat dan menyadari keterpurukan Timur. Pada saat yang sama juga menyadari ancaman ideologi dan politik Barat terhadap agama Islam dan umat muslim. Oleh karena itu para tokoh yang bermunculan sejak awal abad 19 tersebut lebih dikenal sebagai pembaharu Islam dan Revivalis atau orang yang ingin membangkitkan Islam untuk meraih kejayaannya kembali.

Tokoh-tokoh revivalis secara umum menyerukan agar umat Islam meniru modernitas Barat, namun sekaligus memurnikan ajaran Islam dari unsur-unsur yang menghambat kemajuan. Kombinasi yang biasanya ditawarkan adalah purifikasi plus modernisasi. Sebut saja mulai Jamaluddin al-Afghani, at-Thahthawi, Muhammad Abduh, Muhammad Rasyid Ridha, Qasim Amin, Thaha Husein, Muhammad Iqbal, Ahmad Dahlan, dan lain-lain.

Namun pada saat itu oksidentalisme belum terbentuk sebagai sebuah lembaga keilmuan. Oksidentalisme belum menjadi agenda gerakan sistematis. Bahkan istilah oksidentalisme belum digunakan oleh para ilmuwan Timur tersebut. melainkan yang terjadi adalah upaya baik individu maupun kelompok untuk merespon narasi Barat tentang Timur.

Dengan demikian menentukan titik awal oksidentalisme pada masa klasik dan modern awal bukan perkara mudah. Dapat dikatakan bahwa perjumpaan Timur dan Yunani di masa klasik dipandang sebagai akar-akar oksidentalisme, sebagaimana diakui juga oleh Hasan Hanafi, akan tetapi itu bukan tonggak historis dimulainya oksidentalisme. Oleh karena itu, tonggak awal oksidentalisme sebaiknya di ambil sejak istilah oksidentalisme itu dimulai atau diperkenalkan.

Karya internasional tentang oksidentalisme yang pertama ditulis oleh Hasan Hanafi pada tahun 1991. Ilmuwan Mesir tersebut menulis buku berjudul: "Introduction to Occidentalism" ("Muqaddimah fi 'ilm al- Istighrab"). Versi bahasa Indonesianya berjudul: "Oksidentalisme: Sikap Kita Terhadap Tradisi Barat". Karya Hasan Hanafi ini termasuk buku pengantar paling komprehensif untuk studi oksidentalisme. Sejak saat itu para pemikir muslim semakin sering menyebut istilah oksidentalisme.

Sambutan di Indonesia muncul dari Jurnal Al-Jami'ah IAIN Sunan Kalijaga yang menerbitkan edisi khusus oksidentalisme pada nomor 53 tahun 1993. Beberapa penulisnya ialah; Burhanuddin Daya, Alef Theria Wasim, Yusron Asrofi, Amin Abdullah. Sebenarnya tulisan para akademisi IAIN Sunan Kalijaga tersebut bukan hanya respon terhadap kemunculan karya Hasan Hanafi  saja, namun juga tindak lanjut dari dinamika internal IAIN Sunan Kalijaga.

Penting dicatat bahwa istilah oksidentalisme pernah menggema di kampus IAIN Yogyakarta sejak pertengahan dekade 1960 an, namun seolah baru menemukan momentum internasionalnya sejak Hasan Hanafi menulis bukunya. Jauh sebelum Hasan Hanafi, tepatnya 27 tahun sebelumnya, telah ada Abdul Mukti Ali yang dengan jelas menyebut istilah oksidentalisme. Pada pidato Dies-Natalis tahun 1964, Mukti Ali menggemakan istilah oksidentalisme.

Pidato tersebut dibukukan tahun berikutnya dengan judul: "Ilmu Perbandingan Agama, Sebuah Pembahasan Tentang Metodos dan Sistima." Pada Bab IV buku tersebut diberi tema Orientalisme dan Oksidentalisme, dimana Mukti Ali menyatakan, " Teori-teori dan ilmu-ilmu tentang agama, kebudayaan, dan peradaban Barat, atau Occidentalism harus dikembangkan dalam lingkungan masyarakat Islam di Indonesia ini. " Self isolationism" harus kita kikis dari masyarakat intellegensia Muslim di Indonesia  ini, dan dengan oksidentalisme itu baru kita sanggup berdialog dengan masyarakat Barat. Oksidentalisme harus segera lahir di Indonesia ini, dan patutlah kiranya kalau Institut Agama Islam Negeri, Al-Jami'ah Al-Islamiyah Al-Hukumiyah menjadi ibu kandungnya".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun