Mohon tunggu...
Satriawan
Satriawan Mohon Tunggu... Lainnya - Pendidik

Pantang tugas tak tuntas - pantang sesumbar tanpa dasar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Degradasi Humanitarian, Dekadensi Moral, dan Penyadaran Literasi Atas Publikasi Media

28 Juni 2023   13:39 Diperbarui: 28 Juni 2023   14:45 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tanpa dinyana, publikasi kriminalitas di media cetak yang sempat lekat di masa lalu sering dianggap publikasi berita murahan. Iya, dengan asumsi bahwa hanya koran pinggiran saja yang senantiasa "menjual" dan mengeksplorasi kekerasan dan kejahatan (kriminalitas). Bahkan media cetak (baca: koran) sejenis dianggap media marjinal! Bahkan, dulu segmen pembaca tertentu khususnya di seputaran Jabodetabek, setidaknya pernah mendengar koran harian yang bernama Pos Kota! Koran yang tampilan layout-nya terkesan bertumpuk dengan gambar dan foto warna-warni mencolok. Koran yang setiap halaman barisnya nyaris dipenuhi kolom iklan dan lowongan kerja! Pun identik dengan pemberitaan kriminalitas yang seakan tiada pernah luput dari pemberitaannya. Koran dengan target pembaca yang didominasi dari kalangan menengah ke bawah. Dengan cetak kertas koran yang khas dan tetap eksis hingga lebih setengah abad mewarnai jurnalistik Ibukota (semenjak tahun 1970). Tidak sedikit bis kota dan angkutan transportasi umum yang kerap dihiasi dashboard-nya dengan koran ini.

Menilik konten media yang identik dengan pemberitaan kriminalitas di sejumlah media, sejujurnya telah ada sejak lama. Demikian pula dengan semakin berkembangnya teknologi pemberitaan di era digital sekarang, konten berita tentang kriminalitas tak pernah usai. Bahkan konten ini seakan menjadi penghias wajib setiap pemberitaan media, dengan jangkauan pemberitaan kasus yang kian luas hingga pelosok negeri! Berita pembunuhan lah, mutilasi lah, penganiayaan lah, perampokan lah, pembegalan lah, rudapaksa lah, incest lah, korupsi lah, perselingkuhan lah, prostitusi lah, trafficking lah, ... lah, ... lah lainnya, seakan nilai humanism dan moralitas bangsa ini kian terjerembab pada titik nadir. Apakah demikian senyatanya? Tentu saja tidak, karena di balik itu masih ada pejuang-pejuang humanism dan moralitas yang bertebaran tanpa ekspos media yang berimbang. Masih ada sejumput prestasi baik dari warga +62 yang bisa dikhabarkan media. Tapi, lagi-lagi kuantitasnya masih berbanding terbalik dengan jumlah pemberitaan beraroma kriminal di media publik.

Nyaris di setiap pemberitaan media digital dan sosial, senantiasa ada program kriminalitas seperti program televisi bertajuk berita tentang kriminalitas BRUTAL, PATROLI, BUSER, SIDIK, TKP, SERGAP, TIKAM, dan banyak lagi nama program lainnya. Ini tidak bisa dipungkiri, karena setiap kejahatan senantiasa didefinisikan ketika ada aturan hukum yang mengaturnya. Penyelewengan, perselingkuhan, kejahatan dan kekerasan (kriminalitas) ada di masyarakat semenjak adanya peradaban! Sejatinya sejarah kejahatan manusia telah dimulai sejak berabad-abad silam, sejak adanya kehidupan masyarakat di zaman dahulu (kuno). Bahkan disinyalir tak akan pernah usai hingga akhir zaman!

Ketika kita sibuk dengan penilaian moralitas media yang senyatanya juga perlu mengusung tuntutan rating dan kebutuhan komersial dari stasiun televisi tersebut untuk tetap eksis. Kita lupa untuk menyiapkan dan membangun kemampuan diri dan keluarga untuk semakin cerdas dalam filterisasi pemberitaan dan tayangan media dengan kecakapan dan kecerdasan literasi yang harus dimiliki. Tiadalah kemampuan untuk membendung konten media tertentu dengan serta merta, sementara teknologi informasi yang melampaui batas-batas ruang dan waktu semakin maju dan cepat menyebar.

Ingat, dengan perkembangan dan kemajuan teknologi informasi yang semakin canggih dalam genggaman, gelombang pemberitaan yang berpotensi destruksi humanism dan moralitas pun memiliki peluang yang sama untuk mempengaruhi. Lalu, bagaimana kita bisa mengimbangi kecepatan dan percepatan revolusi teknologi informasi dengan revolusi moral dan kemanusiaan, serta pencerdasan literasi publik!?! Peran sentral orangtua, pendidik, dan kita semua untuk bahu membahu menangkal fenomena tersebut melalui upaya multidimensional tidak cukup hanya dengan pembekalan fondasi nilai-nilai spiritual saja. Penyiapan mental dan konsientisasi massif tentang bahayanya penggunaan media tanpa batas sejak dini sangat diperlukan melalui upaya pencerdasan literasi, kecakapan dan kepekaan digital secara bertahap dan berkelanjutan bagi kita dan generasi berikutnya.

Refleksi moral dari lereng gunung Tangkuban Parahu

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun