Menelisik cara pandang generasi yang lebih muda terhadap eksistensi lansia dapat menjadi referensi dan wacana diskusi, bagaimana selanjutnya dipahami, disikapi dan dirancang desain besar tentang cara memperlakukan lansia yang lebih proporsional, profesional dan konstruktif dari generasi sesudahnya ke generasi berikutnya.
Menjadi generasi yang mampu menghargai dan menempatkan kelanjutusiaan orangtua mereka pada puncak penghargaan dan kebanggaan tertinggi yang bermartabat.
Kondisi menua pada manusia dan mahluk, sejatinya adalah keniscayaan dan sunatullah. Perubahan fisik karena penurunan kemampuan psikomotorik dan degeneratif, perubahan kondisi psikososial karena mulai mengalami kesepian dan penepian (ditinggal karena perceraian ataupun kematian pasangannya), serta persoalan religiusitas yang kerap menyambangi manusia yang perlahan menjadi renta dan tua adalah dengan kian dekatnya fase kematian.
Perubahan kondisi fisik dan persoalan psikis menjadi perhatian utama, selain tentunya yang berhubungan dengan degeneratif, agar para manusia lanjut usia dapat mempersiapkan dirinya dan juga dukungan keluarga dalam merawatnya secara bermartabat.
Beberapa waktu lalu, baru saja kita peringati Hari Lanjut Usia Nasional (HLUN) yang ke-27 di tahun 2023 ini yang dipusatkan di Kabupaten Dharmasraya Propinsi Sumatera Barat yang mengusung tema; “Lansia Terawat, Indonesia Bermartabat”.
Menguak sejarah dari peringatan HLUN yang dilaksanakan setiap tanggal 29 Mei terinspirasi dari Dr. KRT. Radjiman Wedyodiningrat yang merupakan ketua sidang BPUPKI pada 29 Mei 1945.
Radjiman merupakan anggota tertua BPUPKI saat itu. Walaupun begitu, ia tetap teguh dan aktif demi kemerdekaan Indonesia. Terinspirasi dari Radjiman, akhirnya pada 29 Mei 1996, HLUN resmi disahkan di Semarang. Pemerintah memberikan perhatian khusus kepada masyarakat lansia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 88 Tahun 2021 tentang Strategi Nasional Kelanjutusiaan.
Mengacu pada Permensos Nomor 5 Tahun 2018 tentang standar Nasional Rehabilitasi Lanjut Usia pada bagian Kesatu pasal 6 disebutkan bahwa tujuan rehabilitasi sosial lanjut usia itu adalah agar: a. mampu melaksanakan keberfungsian sosial Lanjut Usia yang meliputi kemampuan dalam melaksanakan peran, memenuhi kebutuhan, memecahkan masalah, dan aktualisasi diri; dan b. terciptanya lingkungan sosial yang mendukung keberfungsian sosial Lanjut Usia.
Mengacu pada bagian dan pasal ini dapat diartikan bahwa esensi dari rehabilitasi sosial bagi lansia adalah agar tetap dapat berfungsi sosial secara adekuat di usia senjanya, serta dukungan optimal dari lingkungan social, seperti keluarga, ketetanggaan, maupun masyarakat secara luas.
Pada bagian Kedua pasal 11 disebutkan tentang bentuk rehabilitasi sosial lanjut usia itu adalah: a. motivasi dan diagnosis psikososial; b. perawatan dan pengasuhan; c. pelatihan vokasional dan pembinaan kewirausahaan; d. bimbingan mental spiritual; e. bimbingan fisik; f. bimbingan sosial dan konseling psikososial; g. pelayanan aksesibilitas; h. bantuan dan asistensi sosial; i. bimbingan resosialisasi; j. bimbingan lanjut; dan/atau k. rujukan.
Sedangkan pada bagian kedua pasal 11 mengejawantahkan bentuk dari rehabilitasi sosial lansia, selain perlunya motivasi, perawatan dan pengasuhan, juga keberdayaan secara komprehensif.
Dengan kata lain, rehabilitasi sosial bagi lansia tidak melulu dipandang dari sisi negatif usia (ageisme) yang renta, berpenyakit, tidak berdaya dan lemah (stigma). Di sisi lain, rehabilitasi sosial lansia melihat unsur potensi, kemampuan, dan keberdayaan untuk mandiri berwirausaha di usia tuanya.
Persoalan yang berkaitan dengan kelompok lansia akan terus bergulir seiring putaran roda waktu yang terus beranjak dari generasi ke generasi, karena proses menua adalah niscaya dan pasti.
Seiring dengan semakin meningkatnya kualitas hidup manusia Indonesia, serta tingginya atensi dan dukungan sosial keluarga maupun masyarakat terhadap para orangtua berkorelasi positif dengan meningkatnya pula usia harapan hidup manusia Indonesia.
Perspektif dan cara pandang umum orang kebanyakan tentang lansia, sangatlah beragam. Ada sebagian yang memandang dan menempatkan lansia sebagai sosok yang lemah, renta, terlantar dan tidak berdaya, serta stereotype lainnya yang melekat (stigmatisasi). Anggapan masa tua yang erat dengan ketidakberdayaan menjadi stigma yang melekat pada lansia. Perubahan kemampuan karena usia cenderung memunculkan diskriminasi karena usia atau ageisme.
Kajian tentang lansia dari sudut pandang komunitas di luar lansia merupakan area kajian yang menantang, karena sejatinya mereka berusaha memandang sesuatu yang sama sekali belum dialaminya (fase lansia).
Pentingnya menyiapkan regenerasi jelang fase lansia maupun merekonstruksi kepedulian generasi milenial dalam “memperlakukan” lansia secara adekuat. Masih banyak peran yang bisa dimaksimalkan oleh para lansia di usia senjanya yang dapat ditampung kontribusinya bagi negeri ini, dari sisi dan sudut pandang pengalaman hidupnya, kejuangan menjalani hidupnya, refleksi dalam memaknai hidup dan kehidupan, serta pengorbanan demi kelangsungan anak cucunya. Dengan begitu, generasi sesudahnya dapat lebih menghargai dan bangga terhadap eksistensi dan pengakuan atas harkat dan martabatnya. Semoga!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H