Mohon tunggu...
DewantoArt
DewantoArt Mohon Tunggu... Tentara - Seniman

Melestariakan Seni Pewayangan Jawa

Selanjutnya

Tutup

Seni

Kumbakarna Gugur

18 November 2024   13:18 Diperbarui: 18 November 2024   13:32 182
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar : Kumbakarna Gugur DewantoArt

Saat keduanya memasuki perbatasan pertahanan Suwelagiri, meraka langsung di sambut oleh Kapi Anggada dan Kapi Anila. Pasukan Alengka barisan terdepan telah siap untuk meluncurkan panah api yang membara, sementara itu Wibisana membalas serangan dengan menggunakan panah hujan ke langit, anak panah pun meluncur menembus mega mendung, sehingga hujan pun turun dengan sangat lebat, dan akhirnya panah api dari pasukan Alengka bisa di padamkan.

Tetapi perang pun masih berlanjut antara pasukan raksasa melawan pasukan kera yang jumlahnya puluhan ribu, ditambah lagi bantuan pasukan dari Goa Kiskenda terus memukul mundur pasukan Alengka. Kini giliran panglima perang Alengka melawan panglima Pancawati.

Kumba-kumba berasama Aswani kumba menantang Kapi Anggada dan Kapi Anila untuk berperang dan saling adu kekuata. Kapi Anggada melawan Kumba-kumba dan Kapi Anila melawan aswani kumba, meraka bertarung secara sengit, sehingga membuat para pasukan Alangka dan Pancawati menepi. Setiap kali Kumba-kumba tewas, kemudian Aswani kumba melompatinya maka Kumba-kumba hidup kembali, demikian sebaliknya. Semakin lama tenaga Kapi Anggada dan Kapi Anila melemah, terkuras habis dan jatuh tidak berdaya.

Sukurlah Sugriwa dan Anoman datang untuk menolongnya. melihat ilmu (ajian) yang dimiliki Kumba-kumba dan Aswani kumba, Sugriwa mulai teringat kepada kakaknya yaitu Resi Subali yang pernah menceritakan perang di Goa Kiskenda, pada saat itu melawan Prabu Mahesasura dan Patih Lembusura yang juga memiliki ajian sama seperti Kumba-kumba dan Aswani kumba. Namun Sugriwa merasa dirinya sudah terlalu tua untuk melawan dua raksasa tersebut.

Mendengar cerita tersebut Anoman bersedia untuk menjadi lawan kedua raksasa tersebut, tak lama kemudian Anoman lansung melompat di hadapan Kumba-kumba dan Aswani kumba perang pun terjadi sangat seru. Anoman pun terkena pukulan tangannya Kumba-kumba dan akhirnya jatuh terkapar di tengah-tengah antara Kumba-kumba dan Aswani kumba. Kedua raksasa itu pun merasa bangga ia bisa melangalahkan para ksatria Pancawati.  Anoman yang terjatuh ia masih berusaha bangkit dan berdiri menantang Kumba-kumba dan Aswani kumba, keduanya pun kaget melihat Anoman bisa berdiri tegak seperti semula. Kumba-kumba dan Aswani kumba bersemangat dengan kekuatan penuh ia menyerang Anoman dengan posisi berhadap hadapan, Anoman pun segera menghindar dan meloncat ke atas, sehingga kepala meraka berbenturan dengan keras, hingga akhirnya kepala kedua raksasa itu pun pecah dan tewaslah Kumba-kumba dan Aswani kumba. Melihat kejadian itu Wibisana menangis didalam hati, melihat keponakannya yang masih umur belasan tahun tewas dengan mengenaskan.

Atas kematian Kumba-kumba dan Aswani kumba Prabu Dasamuka semakin berduka. Sudah tidak ada cara lain, Prabu Dasamuka bersama pasukannya berangkat menuju gunug Gohkarna, dibawah langsung kepemimpinannya. Tejamantri Togog dan Sarawita ikut dalam rombongan juga. Dalam perjalanan pasukan juga membawa makanan yang sangat banyak untuk di suguhkan Kumbakarna.


Sesampai di tempatnya Kumbakarna tidur (bertapa), Prabu Dasamuka perintahkan pasukannya untuk membangunkan Kumbakarna. Trompet, ketongan, tambur, sampai meriam di ledakkan berkali kali, Kumbakarna juga tidak merasa terusik sama sekali, membuat Prabu Dasamuka kehabisan akal. Akhirnya Tejamantri Togog menghadap Prabu Dasamuka, kalo diberi ijin Prabu Dasamuka ia sanggup untuk mebangunkan Kumbakarna. Prabu Dasamuka mengijinkan Tejamantri Togog untuk membangunkannya. Tejamantri Togog langsung mendekat kearah kaki Kumbakarna dan menaiki jempol kaki kirinya Kumbakarna, kemudian ia mencabut bulu kaki tersebut. Begitu tercabut tangan Kumbakarna dan kedua kakinya menghentak keras sekali sehingga tanah pun bergetar membuat Tejamantri Togog terpental jauh, dan beberapa pasukan juga banyak yang terinjak dan terpukul oleh kedua tangan dan kakinya. Akhirnya bangunlah sang Kumbakarna.

Kumbakarna dengan mata yang masih remang-remang melihat Prabu Dasamuka ia terkejut dengan kedatangannya kakaknya, ia merasa senang karena sudah di maafkan oleh Prabu Dasamuka. Pasukan pembawa gerobak makan pun mendekat ke Kumbakarna dan menyuguhkan berbagai macam makanan. Seratus kerbau panggang, dua ratus sapi panggang, tujuh ratus rusa panggang, seribu ton nasi dan seratus liter arak. Tidak ada hitungan menit lenyap habis tanpa sisa. Setelah kenyang Prabu Dasamuka baru menjelaskan maksud kedatangannya.
  "Hee.... Kumbakarna, saiki wetengmu wis warek, tenogomu wis puleh. Rungokno aku bukak en kupingmu!!!
Negoromu bubrah di gawe iyak-iyakan munyuk wadyabalane Ramawijaya saka Maliawan, akeh senopati lan satrio sing gugur ing palagan, kowe malah enak anggonmu turu, belas babar pisan ora ngurus kedadean iki.
Deloken kae di lekno mripatmu Ramawijaya sak wadyabalane podo mlumpuk, baris ono gunung Suwelagiri!!  opo saiki baktimu marang negoro lan bangsamu di ?". ("Hee...Kumbakarna, sekarang perutmu sudah kenyang, tenagamu sudah pulih. Dengarkan aku buka telingamu!!! Negaramu rusak di injak-injak kera balatentaranya Ramawijaya dari Maliawan, banyak senapati dan satria yang gugur di medan pertempuran, kamu malah enak caramu tidur, samasekali tidak mengurus kejadian ini. Lihatlah buka matamu Ramawijaya sama balatentaranya pada berkumpul, barir di gunung Suwelagiri!! Apa sekarang baktimu pada negara dan bangsamu di ?").

Kumbakarna terdiam, tak sepatah kata pun yang keluar dari mulutnya. Prabu Dasamuka mondar mandir seolah kehabisan kata-kata.
  "He.... Kumbakarna, saiki amung kowe pengarepanku, tak jaluk kuwe meduno ing palagan, kumbakarna. Sirnakno Ramawijaya sak wadyabalane munyuk sing ora toto, Kumbakarna. Selametno negara lan bangsamu iki" . ("He...Kumbakarna, sekarang hanya kamu harapanku, saya minta kamu maju ke medan tempur, Kumbakarna. Bunuhlah Ramawijaya sama semua bala tentaranya kera yang tidak tau diri, Kumbakarna. Selamatkan negara dan bangsamu ini")
Kumbakarna pun akhirnya menjawab omongan dari Prabu Dasamuka.
  "Kakang Dasamuka, kabeh kedadean iki sebab e soko kakang dewe, mung ngrungokne murkane atimu dewe kakang, kuwe kuwalat kakang. Kowe wis kemaki koyo-koyo ora ono menungso ing ndonyo iki sing bisa nandingi kesektenmu. Saiki opo dadine ? Negoro bubrah tanpo siso.
Kakang, kakang Dasamuka sing tak ajeni lan tak wedeni, ngopo mbiyen-mbiyen kowe ora ngrungokne aku lan adimu Wibisana, kakang. Mbiyen Bocah bagus yo adimu Wibisana  iku wis ngilingke wis ngiguhake sing becik, kowe malah nesu ngarani yen adimu rewang marang mungsuh, malah luwih soko kui, kowe nosotake lan ngongkon lungo. Saiki adimu lungo ninggal kowe kui ora mergo khianat marang negoro, naning mbelo ingkang bebener. Saiki kowe lagi ngerti kakang , yen lungone adimu Wibisana, koyo-koyo Alengka ilang cahyone.
Negoro Alangka peteng kakang, koyo uripmu sing saiki, anggenmu melaku nabrak-nabrak koyo wong wuto kelangan teken.
Saiki sing luput sopo kakang???
Tak ilingke sepisan maneh kakang, mumpung isih wancine.  Balikno Dewi Sinta marang Ramawijaya, kanggo keselametane negara Alengka.
Dudu mergo aku wedi maju ing palagan, nanging aku ngerti yen Ramawijaya ono panggon dalan sing bener. Yen iki wis mbuk tindakke kakang, Berarti kowe wis nyelametke negara  lan bangsamu kakang". ("Kakak Dasamuka, semua kejadian ini berawal dari kamu sendiri, yang hanya mendengarkan murka hatimu sendiri kakak, kamu merasakan akibatnya sendiri kakak. Kamu sudah sombong seakan akan tidak ada manusia di dunia ini yang bisa menandingi kekuatanmu. Sekarang apa yang terjadi ? Negara hancur tanpa sisa.
Kakak, kakak Dasamuka yang saya hormati dan saya takuti,  kenapa dulu-dulu kamu tidak mendengarkan aku sama adikmu Wibisana, kakang. Dulu anak bagus iya adikmu Wibisana itu sudah mengingatkan dan memberi saran yang baik, kamu malah marah menuduh adikmu bekerjasama sama musuh, malah lebih dari itu, kamu mengutuknya dan menyuruh ia pergi. Sekarang adikmu pergi meninggalkan kamu itu bukan karna berkhinat kepada negara, tetapi ia membela kebenaran. Sekarang kamu baru tahu kakak, kalau perginya adikmu Wibisana, seakan akan Alangka hilang cahayanya.
Negara Alengka gelap kakak, seperti hidupmu yang sekarang, caramu berjalan menubruk nubruk seperti orang buta kehilangan tongkatnya.
Sekarang yang salah siapa ???
Saya ingatkan sekali lagi kakak, mumpung masih ada waktu. Kembalikan Dewi Sinta kepada Ramawijaya, demi keselamatannya negara Alengka. Bukan karna aku takut untuk maju ke medan perang, tapi aku mengerti kalau Ramawijaya berada di pihak yang benar. Kalau ini sudah kamu kerjakan, berarti kamu sudah menyelamatakan negara dan bangsamu kakak").

Ucapan Kumbakarna membuat Amarah kakaknya semakin menyala, akhirnya Prabu Dasamuka meminta Kumbakarna Untuk mengembalikan semua jumalah makanan yang sudah dimakan olehnya, tidak boleh ada yang kurang dalam setiap jenis makanan yang di suguhkan. Tak lama Kumbakarna langsung menggunakan kesaktiannya dan keluarlah semua makanan yang ada di perutnya, lengkap seperti semula tidak ada satupun yang ketinggalan.
  "Bangsat....Iblis laknat kowe, Kumbakarna. Kowe wani wanine pamer kasekten ning ngarepe Prabu Dasamuka hemm. Iki tandane kowe ra gelem nuturi opo sing dadi kekarepanku, pancen kowe iblis sing ora nduwe ati Kumbakarna". ("Bangsat.....setan laknat kamu, Kumbakarna. Kamu berani beraninya memamerkan kesaktian di depan Prabu Dasamuka hemm. Ini tandanya kamu tidak mau menuruti apa yang sudah menjadi keputusanku, emang kamu setan yang tidak punya hati Kumbakarna").
Kumbakarna menjawab tegas "Aku ora pamer kasekten kakang. Kabeh mau luwih becik tak wuntahke, tinimbang aku belani menungso sing ono dalan kang ora bener". ("Aku tidak pamer kekuatan kakak. Semua itu lebih baik aku keluarkan, dari pada saya membela orang yang ada di jalan tidak benar").

Prabu Dasamuka semakin kehabisan kata-kata. Namun ia masih ada satu cara lagi agar kumbakarna tetap mau maju ke medan tempur.
  "Kumbakarna..., sepiro gedene tresnanmu marang anak-anakmu, hem???  Opo kowe ora kepengin mbaleske matine cah kembar kae hem , Kumbakarna??? ". ("Kumbakarna......., seberapa rasa cintamu kepada anak-anakmu, hemm??? Apa kamu tidak ingin membalasakan kematian anak kembar itu hem, Kumbakarna???").
Kumbakarna pun merasa bingung dengan apa yang baru di ucapkan Prabu Dasamuka.
  "Maksudmu opo, kakang?". ("Maksudmu apa, kakak ?").

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun