Pulau Rempang adalah salah satu pulau yang berada di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau. Pulau kecil ini berada kira-kira 3 km di sebelah tenggara Pulau Batam dan terhubung oleh Jembatan Barelang ke-5 dengan Pulau Galang di bagian selatan. Pulau Rempang memiliki luas kurang lebih 165 km.Â
Dalam beberapa hari ini, Pulau Rempang tentunya sudah tidak asing di telinga kita. Kabar berita tentang Pulau Rempang sudah menyebar di berbagai media baik di TV maupun di media sosial.
Pulau Rempang sendiri rencananya akan dibuat untuk Proyek Eco City dengan nama Rempang Eco City. Rempang Eco City merupakan kawasan industri, perdagangan, hingga wisata terintegrasi yang ditujukan untuk mendorong daya saing dengan Singapura dan Malaysia. Proyek ini akan digarap oleh PT Makmur Elok Graha (MEG) yang berinduk kepada Artha Graha Network (AG Network) dengan target investasi mencapai Rp 381 trilliun pada 2080. Untuk menggarap Proyek Rempang Eco City ini PT Makmur Elok Graha (MEG) diberi lahan sekitar 17.000 ha yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. PT Makmur Elok Graha (MEG) sendiri merupakan perusahaan yang mendapatkan hak pengelolaan terhadap 17.000 ha lebih lahan di kawasan Rempang sejak 2004 hingga kini. Pemerintah juga menargetkan pengembangan Rempang Eco City dapat menyerap sekitar 306.000 tenaga kerja hingga tahun 2080.Â
Di Rempang Eco City nantinya akan dibangun pabrik produsen kaca dengan nama Xinyi Glass Holding Ltd. Pabrik kaca tersebut nantinya akan menjadi pabrik kaca terbesar kedua di dunia setelah China. Namun, untuk membangunnya tidak mudah mereka harus merelokasi warga yang ada di Pulau Rempang dan yang lebih menyusahkan, warga Rempang enggan untuk direlokasi hingga timbul bentrokan karena adanya demonstrasi.
Karena lahan di Pulau Rempang akan dikosongkan, BP Batam telah menyiapkan pemukiman baru bagi masyarakat Rempang yang terkena dampak proyek yang termasuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN). Permukiman ini bernama Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City dan berlokasi di Dapur 3, Kelurahan Sijantung, Pulau Galang. Program ini mengusung slogan "Tinggal di Kampung Baru yang Maju, Agar Sejahtera Anak Cucu". Kampung Pengembangan Nelayan Maritime City akan menjadi Kampung percontohan di Indonesia sebagai kampung nelayan modern dan maju.
Masyarakat terdampak pun akan mendapatkan hunian 1 rumah baru tipe 45 senilai Rp 120 juta rupiah/KK, dengan luas tanah maksimal 500 m2. 1 rumah terdampak akan diganti dengan 1 hunian baru. Masyarakat dijanjikan bebas biaya Uang Wajib Tahunan (UWT) selama 30 tahun, gratis PBB selama 5 tahun, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB), dan Sertifikat Hak Guna Bangunan (SHGB).
Untuk sarana dan prasarana di kampung tersebut tentunya sudah memadai, dengan terdapat fasilitas pendidikan dari SD, SMP, SMA. Tersedia juga pusat layanan kesehatan, olahraga, dan fasilitas sosial. Disana juga disediakan tempat ibadah seperti masjid dan gereja.
Dengan melihat penawaran tersebut, tentunya sangat menggiurkan. Tetapi masih banyak masyarakat Rempang yang menolak untuk direlokasi. Masyarakat Rempang menolak untuk direlokasi karena mereka enggan untuk meninggalkan tanah leluhurnya, mereka ingin menjaga tanah yang diwariskan oleh para leluhur. Mereka tetap bersikukuh untuk tinggal di kampung mereka, bahkan mereka sampai melakukan aksi demonstrasi, dan ada juga beberapa warga yang ditahan oleh pihak kepolisian karena aksi demonstrasi.Â
Pada peristiwa 7 September 2023 sekitar 8 orang ditangkap dan pada tanggal 11 September 2023 ada 34 orang yang ditangkap. Warga di Rempang ingin tetap tinggal di pulau tersebut karena disanalah tempat mereka bekerja dan memenuhi kebutuhan. Mereka khawatir, misal nanti mereka pindah mereka tidak bisa melaut dan bercocok tanam lagi.Â
Masyarakat Rempang sendiri diberi waktu untuk mengosongkan wilayah mereka hingga tanggal 28 September 2023. Meskipun waktu yang dibutuhkan tinggal sedikit, warga Rempang masih berusaha untuk menolak relokasi, mereka terus melayangkan tuntutan kepada BP Batam dan meminta bantuan kepada Presiden Joko Widodo untuk menyelesaikan masalah di Rempang.Â
Sebenarnya warga Rempang sendiri sangat mendukung adanya proyek dari pemerintah untuk kemajuan bangsa ini dan untuk mensejahterakan warga disana, tetapi mereka berat hati jika mereka disuruh untuk meninggalkan tempat tinggal mereka yang sudah mereka tempati turun-temurun dari nenek moyang mereka. Warga Remoang juga menuntut kepada pemerintah mengkaji ulang proyek ini dan mereka juga menuntut pemerintah untuk segera menerbitkan hak milik tanah warga Rempang.Â
Warga Rempang hanya ingin tidak dipindah dari wilayah Rempang, tidak masalah jika ada Proyek Strategis Nasional (PSN). Dan sampai sekarang masih banyak masyarakat Rempang melakukan aksi demonstrasi, hingga menyebabkan kericuhan yang terjadi di Pulau Rempang. Seharusnya pemerintah harus segera mengambil tindakan atas terjadinya peristiwa ini, kasian anak-anak yang tidak bersalah mereka terganggu pendidikannya karena adanya kericuhan, dan yang paling parah adalah pihak kepolisian yang selalu menembakkan gas air mata kepada warga tanpa pandang bulu.Â
Dalam kerusuhan ini ada anak SD dan SMP yang terkena dampak gas air mata, tentunya hal ini sangat memprihatinkan, mereka bersekolah untuk mencari ilmu tetapi malah terkena gas air mata. Dan para pihak berwajib melakukan aksi intimidasi kepada warga, hal ini sudah termasuk pelanggaran HAM, dan harus ditindak tegas. Para pihak berwajib memang melakukan tugas mereka, tetapi harus memperhatikan sisi kemanusiaan, karena warga Rempang juga berhak untuk hidup tanpa adanya intimidasi dari pihak manapun.Â
Pemerintah juga melakukan pengosongan puskesmas yang ada di Pulau Rempang, hal tersebut sudah melanggar Hak Asasi yaitu hak atas kesehatan. Kejadian dugaan pelanggaran HAM diatas pasti akan berdampak sangat buruk bagi masyarakat Pulau Rempang, masyarakat Rempang pasti trauma akan kejadian tersebut dan kurang percaya terhadap pemerintah. Pemerintah harus segera mencari solusi atas permasalahan ini, supaya agar cepat selesai tanpa adanya korban jiwa akibat demonstrasi yang terjadi terus-menerus.Â
Memang investasi dari proyek ini sangat besar dan bisa menyerap banyak tenaga kerja, tetapi jika pemerintah terus memaksa untuk merelokasi warga Rempang, bukan tidak mungkin terdapat korban jiwa. Warga Rempang memang tidak memiliki hak atas tanah tersebut karena mereka tidak memiliki sertifikat kepemilikan tanah, tetapi disana ada tanah kampung melayu tua yang merupakan kampung adat melayu yang harus mereka lindungi. Menurut saya, jika warga Rempang tetap bersikeras untuk tinggal di Pulau Rempang seharusnya Pemerintah mengganti lokasi proyek tersebut. Dan pemerintah juga harus memperhatikan Hak Asasi Manusia dari saudara kita yang berada di Pulau Rempang.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H