Filosofi Musik - "Aku membaca, maka aku ada." (tibuku.com)Â
Salah satu keahlian yang perlu diasah oleh bangsa ini adalah keahlian untuk melihat konteks dari segala sesuatu, bukan hanya dari apa yang terlihat atau terdengar secara jelas saja. Itulah yang kemarin jadi alasan kenapa Ust. Hanan Attaki dibully habis-habisan oleh emak-emak yang berat badannya di atas 55 kilo. Saya jadi kasihan, apa suami-suaminya nggak pernah nyanyiin mereka lagunya Sheila On 7 yang judulnya Terimakasih Bijaksana, ya?
"Tak peduli, berapakah berat badanmu nanti, kau tetap yang ter-muuaaccch di hati ..."
Saya kira, bila keahlian membaca konteks ini sudah menjadi kebiasaan, banyak masalah yang bisa teratasi; atau minimalnya tidak ada ontran-ontran antara si cebong dan si kampret yang bikin ulama tenang sekelas Aa Gym pun angkat bicara. Hvft.
Keahlian membaca konteks ini juga bisa dipakai untuk mendekatkan diri kita pada Tuhan. Lewat musik, yang sebagian orang mengharamkannya, ternyata banyak juga yang malah lebih dekat dan lebih mencintai Penciptanya, setelah merenunginya dalam-dalam. Seperti pula yang bisa didapat dari lagunya Cak Sabrang dan kawan-kawan.
Sudah lazim memang Letto disebut band sufi, band hakikat, atau band filosofis. Dahulu, di Kaskus, sebelum pamornya kalah oleh Mojok, membernya sering ngumpul-ngumpul dan bahas tentang filosofi musik ini di trit Ngamen Sufistik. Tulisan ini hanya meniru-niru saja metoda mereka dalam menemukan makna, dan inilah yang saya dapat dari lagu Letto - Menyambut Janji.
Sebelumnya, saya ingat-ingat lupa, Cak Nun pernah berkata atau nulis, selawat itu kondisi di mana kamu ingat sama Muhammad. Segala kondisi. Bukan hanya ketika terucap di lisan "Allahumma shalli 'ala Muhammad", tetapi juga pas kamu mau masuk WC, dan kamu ingat Muhammad masuk WC pake kaki kiri dulu, lalu kamu melakukannya, maka di situ kamu berselawat.
Saya curiga, 'Noe'; nama panggung Sabrang kalau dibaca pake ejaan bahasa Indonesia dahulu jadinya 'Nu'; bahasa inggrisnya 'baru' itu 'new' dan dibaca 'nu' juga; adalah subliminal massage ke para pendengarnya, kalau sebagian lagu-lagu Letto itu adalah cara baru mengingat Tuhan. Wah, cocokologi sekali, ya? Iya.
Di bait-bait awal liriknya, Letto seperti sedang menceritakan Nabi Ibrahim ketika dalam perjalanan menemukan Tuhan.
Ku menanti sang kekasih
Dalam sunyi ku bersuara lirih
Yang berganti hanya buih
Yang sejati tak akan berdalih
Di Al-Qur'an surat Al-An'am ayat 76 - 79, dikisahkan beliau menganggap, pada awalnya, dengan suara lirih, bintang, bulan, lalu matahari sebagai Tuhan; "Inilah Tuhanku". Tapi kemudian mengingkarinya sebab, ketika siang, bintang dan bulan menghilang. Kata Ibrahim, "Aku tidak suka pada yang terbenam". Dia juga mengingkari Matahari sebagai Tuhan sebab pada malam, matahari tidak kelihatan lagi.