Darmo, dengan segenap kesedihannya, berjalan sempoyongan. Setiap orang yang berpapasan dengannya akan menatap sinis. Darmo melihat sebuah warung remang-remang di sana. Dari kejauhan warung itu terlihat ramai. Darmo memesan sebotol bir sebelum duduk. Pemilik warung remang-remang menatap sinis padanya. Darmo meneguk bir sembari sekuat tenaga menahan tangis. Â Tak ada yang peduli dengannya. Dengan kesedihannya. Dengan setiap tetes air mata yang jatuh. Malam itu, ia hanya ingin hidup di dasar botol bir.
Siang tadi, di meja makan rumahnya terdapat sebuah surat yang entah dari siapa. Penghuni rumah saat itu hanya dia dan anak perempuannya. Darmo menarik kursi dan duduk di depan meja makan. Meraih surat itu dan membukanya perlahan. Dia baru saja pulang dari sawah Pak Junaedi. Ia lebih dulu terpaku pada secarik surat sebelum sempat berganti pakaian. Lipatan kertas telah tergurai. Darmo membacanya perlahan. Pelan-pelan. Kristal-kristal di sekitar matanya mulai menggenang dan mengaliri pipi. Di bagian paling bawah surat tertulislah nama anaknya.
Sasti Â
Pemilik warung menegurnya. Menyuruh Darmo segera membayar agar tidak kelupaan. Darmo terbelalak dan segera meraba celana bagian belakang. Mencari sebuah dompet berwarna coklat yang di dalamnya terdapat potret anak perempuannya. Darmo terus meraba. Tangannya tidak mencapai apa-apa selain tekstur celana jeans yang ia kenakan. Pemilik warung semakin sinis menatapnya. Darmo tetap tidak menemukan apa-apa di celana bagian mana pun. Maka berkatalah si pemilik warung:
"Pantas saja anakmu bunuh diri."
Mojokerto, 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H