Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review "Evil Does Not Exist", Benturan antara Modernisasi dan Lingkungan Alam

29 Juli 2024   08:11 Diperbarui: 30 Juli 2024   17:39 745
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Takumi (Hitoshi Okima) dan Hana (Ryo Nishikawa) dalam film Evil Does Not Exist. | Janusfilm.com

"Semua manusia adalah pendatang"

Kalimat di atas merupakan salah satu kutipan dari film berjudul "Evil Does Not Exist" karya Ryusuke Hamaguchi yang pernah menyutradari dan menulis "Drive My Car". Sebuah kalimat yang merangkum keseluruhan filmnya, sekaligus mengingatkan kita akan pentingnya keseimbangan.


Evil Does Not Exist bercerita tentang Takumi (Hitoshi Okima) yang mengisi hari-harinya dengan melakukan berbagai macam pekerjaan untuk membantu warga, dari memotong kayu, mengambil air, serta ikut dalam rapat. Ia hidup bersama anaknya, Hana (Ryo Nishikawa) di desa yang memiliki keindahan alam yang luar biasa, membuat siapapun yang berkunjung akan terkagum-kagum dengan pesona alamnya.

Keindahan desa tersebut menjadi alasan perusahaan dari Tokyo datang dengan rencana membuat glamping (glamorous camping) di tengah desa. Tetapi, rencana tersebut memiliki dampak buruk yang merugikan warga. Takumi dipercaya sebagai penghubung, agar tak terjadi konflik antara kedua belah pihak.

Tayang di KlikFilm, Evil Does Not Exist memiliki durasi 1 jam 46 menit. Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Ini ulasannya:

Paruh Awal yang Terasa Lambat

Takumi (Hitoshi Okima) sedang mengambil air dalam film Evil Does Not Exist. | Neopa Inc, KlikFilm/IMDb
Takumi (Hitoshi Okima) sedang mengambil air dalam film Evil Does Not Exist. | Neopa Inc, KlikFilm/IMDb

Evil Does Not Exist dibuka dengan alur yang slow paced, memperlihatkan pemandangan pepohonan, diiringi instrumen lembut karya Eiko Ishibasi yang menenangkan hati. Penonton dibawa melintasi hutan, melihat kondisi alam, sehingga membuat saya sebagai penonton merasa damai.

Penonton dimanjakan dengan sinematografi yang cantik, shot kamera yang menyorot suasana pedesaan, hutan, juga perkotaan, turut membuat penonton merasa dekat dan hangat sepanjang film berjalan.

Hanya saja, bagi kamu yang tidak terbiasa dengan film dengan alur yang lambat, ada kemungkinan sebagian penonton akan merasa bosan dan mengantuk, mengingat betapa damainya nuansa yang dihadirkan di paruh awal, tanpa adanya konflik yang membuat penonton penasaran.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun