Ketika membuat sebuah film, elemen utama yang digunakan dalam membangun cerita adalah dialog. Hanya saja, tak semua film memerlukan dialog untuk bercerita. Ada kalanya keheningan dan gestur karakter bisa dimanfaatkan untuk membangun cerita serta nuansa mencekam.
Sebut saja beberapa film seperti "A Quite Place" dan "Birdbox" yang minim dialog dan cenderung mengandalkan atmosfer serta keheningan di dalam filmnya. Hal tersebut mungkin menjadi inspirasi Rako Prijanto dalam membuat film "Monster".
"Monster" garapan Falcon Pictures merupakan remake dari film berjudul The Boy Behind The Door (2020). Uniknya, Monster hanya diperani oleh empat aktor, yakni Alex Abbad, Marsha Timothy, Anantya Kirana, dan Sulthan Hamongan. Adapun tokoh polisi dan pengantar barang hanya menjadi karakter sekadar lewat dalam film ini.
Film "Monster" bercerita tentang dua anak SD kakak beradik yang bernama Alana (Anantya Kirana) dan Rabin (Sultan Hamonangan). Suatu hari, tatkala mereka sedang pulang sekolah dan bermain di suatu tempat, mereka diculik oleh seorang tak dikenal (Alex Abbad). Mereka dibawa ke sebuah rumah terpencil. Rabin dibawa ke sebuah ruangan dan diikat di ruangan tersebut, sedangkan Alana didiamkan di bagasi mobil sembari tangan dan mulutnya disumpal.
Dengan kecerdasannya, Alana berusaha untuk menyelamatkan adiknya dan kabur dari penculik tersebut. Namun, tiba-tiba saja partner penculik tersebut (Marsha Timothy) datang dan ikut mengejar mereka. Akankan mereka berhasil kabur?Â
Monster merupakan film karya Rako Prijanto yang dirilis di platform Netflix pada tanggal 16 Mei 2024. Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini review-nya!
Penceritaan Sederhana yang Lebih Berfokus Pada Upaya Menyelamatkan Diri
Naskah film Monster ditulis oleh Alim Sudio. Naskahnya memang tampak sederhana, yakni dengan menonjolkan upaya penyelamatan diri dari dua karakter utamanya dengan mengandalkan metode 'petak umpet' dengan penjahat di dalam filmnya. Film Monster juga tidak menghadirkan dialog sehingga hanya berfokus pada gerak gerik karakter dan atmosfer mencekam.
Alim Sudio cukup berhasil menjelaskan motivasi penculik dengan menebar beberapa petunjuk di beberapa sudut ruangan. Monster mampu membiarkan penontonnya merangkai sendiri benang merah yang ada dalam film ini, sehingga filmnya dapat berfokus pada upaya penyelamatan diri kedua karakternya tanpa perlu terdistraksi dengan menghadirkan flashback atau background story berlebihan pada karakter penculik.
Thriller Tanpa Dialog yang Minim Substansi
Hal yang membedakan Monster dari film-film thriller Indonesia lainnya adalah keputusan untuk meniadakan dialog. Namun, hal ini justru menjadi bumerang. Tatkala saya menontonnya, saya merasa keputusan tersebut hanya menjadi gimmick saja dikarenakan tak adanya substansi yang jelas mengenai mengapa karakternya tidak boleh berbicara.
Karakternya tidak bisu, begitu pula dengan penculik dalam film ini. Namun, Rako dan Alim Sudio seakan sengaja membuat segala sesuatunya menjadi tanpa dialog. Kalimat yang keluar dari mulut karakternya hanya ada di bagian akhir film, dimana Rabin memanggil Alana berulang kali.
Dalam beberapa situasi, pilihan untuk diam merupakan sesuatu yang masuk akal. Akan tetapi, ada beberapa adegan dalam film yang memang memerlukan komunikasi verbal (seperti adegan menelpon polisi, memperingati polisi yang dalam bahaya, dan beberapa adegan lainnya) yang justru sengaja dibuat diam dalam film ini. Alhasil, komunikasi tanpa dialog yang tanpa substansi membuatnya kurang berperan dalam meningkatkan intensitas cerita.
Teror Penculik yang Serba Tanggung
Film Monster kurang mampu memperlihatkan kepada penonton betapa kejamnya sang penculik. Segudang senjata yang ada kurang mampu dimanfaatkan dengan baik. Penyutradaan Rako Prijanto masih terlihat canggung di beberapa adegan, khususnya tatkala sang penculik harus berhadapan dengan dua anak SD yang diculiknya. Ada kesan ingin terlihat 'sadis', namun takut karena targetnya adalah anak-anak.
Sebetulnya untuk membangun nuansa thriller yang mencekam dan terlihat 'sadis', keputusan Rako Prijanto sudah cukup tepat dengan tidak menampilkannya secara eksplisit. Hanya saja, pengadeganan dan pilihan shot yang kurang tepat membuat intensitas dalam film ini terasa lemah dan serba tanggung.
Film ini juga sering memasukkan paksa beberapa unsur (sepatu, sepeda, dll) yang seakan sengaja dibuat untuk mengulur-ulur durasi.
Namun, bukan berarti penyutradaraan Rako tak dapat diapresiasi. Saya akui bahwa ia cukup piawai dalam meramu adegan yang memiliki daya kejut yang tinggi yang tercipta berkat kesempurnaan timing. Ia juga mampu memanfaatkan denah rumah yang sempit untuk membangun ketegangan (seperti dengan membuat karakter muncul mendadak di balik dinding).
Skoring Musik yang Berlebihan
Selain thriller-nya yang serba tanggung, Monster juga kurang percaya diri dalam membangun atmosfer yang mencekam. Hal ini terbukti dengan penggunaan musik skoring yang serba berlebihan. Padahal, hanya dengan menonjolkan sound effect seperti suara jangkrik, suara berjalan, napas, pintu, dan segala macam properti bisa dimanfaatkan untuk membangun intensitas dalam keheningan.
Sayangnya, Monster kurang mampu memanfaatkan elemen tersebut dengan baik. Alhasil, film ini hanya mengandalkan skoring musik yang cukup berisik, dan kurang mampu membangun ketegangannya secara natural.
Penampilan Terbaik dari Anantya Kirana
Jajaran pemain dalam film ini berperan penting dalam jalannya cerita. Alex Abbad sebagai penculik mampu tampil dengan misterius, dan Marsha Timothy juga tampil sebagai penculik kejam yang badass. Penonton dibuat takut dengan karakternya yang menggila di babak akhir.
Secara mengejutkan, Anantya Kirana menjadi daya tarik utama dalam film ini. Ia mampu memerankan karakter Alana dengan sangat baik. Ia mampu mengolah beragam emosi karakternya, mulai dari bocah yang dikuasai oleh ketakutan hingga menjadi gadis pemberani yang dipaksa untuk mengalami pendewasaan secara instan. Kehadirannya juga mampu melepas stereotip bahwa anak perempuan adalah sosok yang cenderung 'dilindungi' dibanding anak laki-laki, padahal anak perempuan juga mampu melindungi seseorang yang disayanginya.
Itulah review saya mengenai film Monster, apakah kamu tertarik untuk menontonnya?
Secara keseluruhan, film Monster cukup mampu menghadirkan sesuatu yang segar di industri perfilman kita. Gaya penceritaan tanpa dialog sebetulnya dapat menjadi nilai lebih yang sayangnya berujung menjadi sekadar gimmick. Walau begitu, perlu diakui bahwa Monster berhasil membangun ketegangan di beberapa adegan, khususnya yang menghadirkan daya kejut yang tinggi.
Penggunaan skoring musik yang berlebihan setidaknya masih bisa tertutupi dengan akting jajaran pemain yang totalitas. Naskah buatan Alim Sudio juga cukup mampu menebarkan petunjuk di beberapa sudut ruangan sehingga membuat penontonnya mengaitkan sendiri benang merah cerita dalam film ini.
Monster cocok ditonton bagi kamu yang merindukan film thriller dengan nuansa hening yang bikin deg-degan. Saran saya, gunakan headset atau earphone agar pengalaman menontonnya menjadi lebih maksimal.
Rating pribadi : 6.5/10
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H