Mohon tunggu...
Satria Adhika Nur Ilham
Satria Adhika Nur Ilham Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Nominasi Best in Spesific Interest Kompasiana Awards 2022 dan 2023 | Movie Enthusiast of KOMiK 2022

Selanjutnya

Tutup

Film Artikel Utama

Review "Hamka & Siti Raham Vol. 2", Rangkuman Sejarah Hamka yang Kehilangan Rasa

23 Desember 2023   09:55 Diperbarui: 24 Desember 2023   19:16 680
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buya Hamka (Vino G. Bastian) menjadi ketua MUI pertama. Sumber foto: Falcon Pictures

Buya Hamka Vol. 1 menghadirkan kisah mengenai perjuangan buya Hamka dan kecintaannya pada pers, keluarga, dan juga Islam. Naskahnya bak kepingan-kepingan sejarah yang belum utuh, melompat dari masa ke masa. Akan tetapi, filmnya tetap mampu memunculkan rasa haru dan inspiratif, membuat saya semakin mencintai dunia kepenulisan.

Setelah diundur penayangannya, akhirnya sekuel dari film Buya Hamka Vol. 1 tayang dan berganti judul menjadi "Hamka & Siti Raham Vol. 2". Entah mengapa, rasanya Falcon sengaja mengikuti formula judul "Habibie & Ainun" agar dapat menggaet ketertarikan penonton. Ekspektasi saya, film keduanya ini akan berfokus pada hubungan romansa.

Sayangnya, ekspektasi tersebut sirna diganti kecewa. Hamka & Siti Raham memang berhasil menghadirkan penceritaan yang lebih rapih dibandingkan film pertamanya, namun film ini kehilangan 'rasa' yang ada pada film sebelumnya.

Hamka & Siti Raham Vol. 2 menyorot kehidupan Hamka pasca Indonesia merdeka. Kedatangan kembali Belanda ke Indonesia, konflik antara TNI dan Hizbullah, perbedaan pendapat antara Soekarno dan Hamka yang menyebabkan Hamka dipenjara, hingga Hamka yang menjadi ketua MUI pertama.

Penggunaan judul "Hamka & Siti Raham" rasanya hanya menjadi gimmick saja. Dikarenakan film ini masih sama seperti sebelumnya, yakni fokus menyorot dakwah dan konflik yang dihadapi oleh Buya Hamka. Sedangkan porsi romansanya hanya muncul sesekali sebagai pemanis film ini.

Film ini membawa begitu banyak konflik, terlalu banyak untuk film berdurasi 105 menit. Naskah buatan Alim Sudio dan Cassandra Massardi lebih memilih menggunakan metode merangkum sejarah, alih-alih fokus pada satu momen penting. Alhasil, naskahnya terasa terburu-buru, lompat antara satu masa ke masa, dengan dampak emosi yang serba tanggung.

Bagaimana tidak? Segudang potensi dimiliki film ini, namun disia-siakan begitu saja. Konfliknya hanya mengambang di permukaan, tanpa ada eksplorasi mendalam. Contohnya adalah tatkala film ini menyorot konflik antara Soekarno dan Hamka, yang seharusnya tampil dengan intens, malah berujung hambar. Naskahnya luput menjelaskan pada penonton mengenai konflik apa yang sedang dihadapi, mengapa Soekarno tega memenjarakan sahabatnya sendiri. 

Jika kita melihat film-film biopik lain, karakter utama tak harus selalu ada di setiap adegan. Ada kalanya karakter antagonis perlu diberi sorotan, agar penonton dapat memahami pandangan dari kedua sisi. Andai teknik ini diterapkan, niscaya konfliknya akan mampu menyorot Soekarno dan Hamka secara imbang, memancing atensi penonton, dan membuat filmnya semakin kaya dengan nilai sejarah.

Hamka & Siti Raham Vol. 2. Sumber foto: Falcon Pictures
Hamka & Siti Raham Vol. 2. Sumber foto: Falcon Pictures

"Hamka & Siti Raham Vol. 2" seharusnya mampu menghadirkan sudut pandang yang luas, yang tak hanya menyorot dari satu sisi. Andai bagaimana perubahan Soekarno dalam pandangannya kepada Buya Hamka juga diperlihatkan, niscaya filmnya tak akan terasa terlalu hambar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun