Apa yang membuat film ini menarik untuk ditonton? Yuk simak, ini review-nya!
Mengungkapkan Keresahan Pada Era Media Sosial
Sejak pertama kali mendengar karya terbaru Wregas ini masuk ke dalam TIFF, saya sangat yakin bahwa film "Budi Pekerti" akan menawarkan sesuatu yang berbeda dari film Indonesia kebanyakan.Â
Hal tersebut telah terbukti benar. Setelah kesuksesannya dalam film "Penyalin Cahaya", Wregas kembali memamerkan kematangannya dalam film "Budi Pekerti" Ia berhasil menggambarkan berbagai ketidakpastian dan konflik yang seringkali kita alami dalam kehidupan era digital melalui karyanya yang terbaru ini.
"Budi Pekerti" berhasil memperlihakan bagaimana masyarakat saat ini seringkali ditekan untuk menjadi individu tanpa cela yang harus selalu tampil 'benar,' tak boleh membuat kesalahan. Jika salah sedikit saja, maka risiko yang didapatkan oleh Bu Prani mungkin juga akan dapat kita alami.
Naskah yang disusun dengan cermat oleh Wregas mengamati detail-detail yang bernilai dan membuat film ini terasa relevan dan dekat dengan penonton. Bu Prani mungkin hanyalah seorang warga biasa, bukan selebritas atau tokoh penting, namun berkat kehadiran media sosial dan kemasan konten clickbait yang memancing penasaran, video teguran Bu Prani pada penyerobot antrian mendadak viral.
"Budi Pekerti" mengajak kita untuk mengikuti upaya Bu Prani dalam membersihkan reputasi. Beragam cara dilakukan, baik proaktif maupun pasif, yang kerap justru menjadi bumerang dan mendatangkan masalah baru.
Film ini mengajak kita untuk merenung, perlukah kita membuka semua privasi kita dan menceritakan semua hal demi menggaet kepercayaan publik, tatkala mereka sebetulnya hanya percaya pada apa yang ingin mereka percayai? Pertanyaan tersebut merupakan salah satu bentuk keresahan Wregas yang ditumpahkan dalam film ini.
Tak hanya berbicara perihal dampak dari sensasi media sosial, kritik terhadap sistem pendidikan yang dihadirkan dalam film "Budi Pekerti" sangat relevan dengan realitas sosial saat ini.
Penekanan pada citra sekolah dan penilaian berlebihan terhadap kesalahan kecil menggambarkan ketidakseimbangan yang masih ada dalam dunia pendidikan.Â